Kisah para rasul dalam Alkitab mencatat perjalanan iman yang luar biasa, di mana kesaksian dan iman para pengikut Kristus terus berkobar meskipun dihadapkan pada tantangan dan penganiayaan. Bab 7 dan 8 dalam Kisah Para Rasul menghadirkan dua momen penting yang menggambarkan hal ini, yaitu kesaksian Stefanus dan awal mula penganiayaan terhadap jemaat yang kemudian melahirkan tokoh penting seperti Saulus (yang kemudian dikenal sebagai Paulus).
Kesaksian Berani Stefanus
Kisah Stefanus di pasal 7 merupakan salah satu pidato apologetik yang paling panjang dan mendalam dalam Perjanjian Baru. Stefanus, seorang diaken yang penuh iman dan kuasa, membela imannya di hadapan Mahkamah Agama Yahudi. Ia dengan gamblang menelusuri sejarah keselamatan Allah bersama bangsa Israel, mulai dari Abraham hingga kedatangan Yesus Kristus. Stefanus tidak gentar sedikit pun meskipun ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan para pemimpin yang menolaknya.
Dalam kesaksiannya, Stefanus secara tegas menunjukkan ketidaksetiaan dan keras kepala bangsa Israel yang seringkali menolak para nabi dan akhirnya juga menolak Mesias yang dijanjikan, yaitu Yesus. Ia mengingatkan mereka tentang pentingnya ketaatan pada hukum Taurat dan Roh Kudus. Namun, ia juga menunjukkan bahwa Yesus adalah genapnya janji-janji Allah. Kesaksian Stefanus bukanlah sekadar cerita sejarah, melainkan sebuah panggilan untuk pertobatan dan pengakuan iman. Pidatonya berakhir dengan penglihatan luar biasa tentang Yesus berdiri di sebelah kanan Allah, sebuah pernyataan iman yang tak terbantahkan namun juga berujung pada penolakannya.
Awal Mula Penganiayaan dan Penyebaran Injil
Reaksi terhadap kesaksian Stefanus sangatlah brutal. Ia dilempari batu hingga mati, namun di tengah penganiayaan itu, Stefanus tetap menunjukkan kasih Kristus dengan berdoa agar dosa para penyerangnya diampuni. Peristiwa ini menandai dimulainya periode penganiayaan yang hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Saulus, seorang pemuda Farisi yang bersemangat membara, menjadi salah satu tokoh utama dalam penindasan ini. Ia mengganas terhadap jemaat, menyeret orang laki-laki dan perempuan ke penjara, dan bahkan menyetujui pembunuhan Stefanus.
Namun, justru penganiayaan inilah yang secara paradoks menjadi katalisator penyebaran Injil. Orang-orang percaya yang dianiaya tersebar ke berbagai daerah di Yudea dan Samaria. Di mana pun mereka pergi, mereka memberitakan Kristus. Ini adalah manifestasi nyata dari ajaran Yesus yang mengatakan bahwa murid-murid-Nya akan menjadi saksi-Nya hingga ke ujung bumi. Di Samaria, Filipus, seorang diaken lain, memberitakan Injil dan melakukan mukjizat, bahkan membawa seorang perwira Etiopia kepada iman. Ini menunjukkan bahwa karya Allah tidak dapat dihentikan oleh kekerasan manusia.
Kisah 7 dan 8 mengajarkan kita tentang keberanian dalam bersaksi, bahkan di hadapan maut. Ini juga menunjukkan bagaimana Allah dapat mengubah kesulitan dan penganiayaan menjadi peluang untuk perluasan Kerajaan-Nya. Kesaksian Stefanus yang penuh api, meskipun berakhir tragis bagi dirinya, justru menyalakan api baru bagi penyebaran Injil ke wilayah yang lebih luas, mempersiapkan jalan bagi tokoh seperti Saulus untuk kemudian menjadi rasul terbesar bagi bangsa-bangsa lain. Ini adalah bukti bahwa iman yang sejati tidak padam oleh badai, melainkan semakin kuat dan menyebar.