Lukas 1:64: Sukacita Setelah Hening

"Dan seketika itu juga terbukalah mulutnya dan terulurlah lidahnya, lalu ia memuji Allah."

Keheningan bisa terasa panjang dan berat, terutama ketika kita dihadapkan pada situasi yang tidak terduga atau bahkan mengerikan. Dalam Injil Lukas pasal 1, kita menemukan kisah tentang Zakharia, seorang imam yang keluarganya dihormati. Ia dan istrinya, Elisabet, adalah orang-orang saleh yang hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan. Namun, mereka memiliki satu kesedihan mendalam: mereka tidak memiliki anak, dan mereka sudah lanjut usia.

Suatu ketika, ketika Zakharia bertugas di Bait Suci, ia mengalami pengalaman yang luar biasa. Malaikat Gabriel menampakkan diri kepadanya dan memberitahukan bahwa doanya telah dikabulkan. Elisabet akan mengandung seorang anak laki-laki yang akan menjadi sumber sukacita bagi banyak orang, dan ia akan diberi nama Yohanes. Namun, karena Zakharia meragukan berita malaikat yang terdengar mustahil di usianya, ia diberi tanda: ia akan menjadi bisu sampai hari ketika semua hal yang dikatakan malaikat itu menjadi kenyataan.

Selama masa kehamilan Elisabet, Zakharia hidup dalam kebisuan. Bayangkan beban emosional yang ia rasakan. Ia tidak dapat berbicara, tidak dapat menyuarakan keraguan atau kegembiraannya, atau bahkan berkomunikasi dengan istrinya seperti biasa. Keheningan ini bukan sekadar ketidakmampuan berbicara; itu adalah sebuah penanda dari ketidakpercayaannya yang harus diatasi.

Titik Balik Kebisuan

Setelah bayi Yohanes lahir, tiba saatnya untuk menamainya. Sesuai tradisi, keluarga ingin menamainya Zakharia, seperti ayahnya. Namun, Elisabet menolak, mengatakan bahwa namanya harus Yohanes. Ketika kerabat dan tetangga mempertanyakan keputusan ini, mereka bertanya kepada Zakharia, sang ayah. Ia, yang selama ini bisu, mengambil batu tulis dan menulis, "Namanya adalah Yohanes."

Dan seketika itu juga, mukjizat terjadi. Ayat Lukas 1:64 mencatat, "Dan seketika itu juga terbukalah mulutnya dan terulurlah lidahnya, lalu ia memuji Allah." Momen ini adalah puncak dari masa penantian dan pembuktian. Kebisuan Zakharia, yang merupakan konsekuensi dari keraguannya, berakhir tepat pada saat ia secara aktif mengakui dan menegaskan kehendak Allah melalui tindakan iman – menulis nama yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Pujian yang keluar dari mulut Zakharia bukanlah sekadar suara. Itu adalah ekspresi dari kelegaan, pengakuan dosa, dan yang terpenting, pujian yang tulus kepada Allah. Ia kini dapat berbicara dan, yang lebih penting, ia menggunakan suaranya untuk memuliakan Penciptanya. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana ketidakpercayaan dapat membawa keheningan dalam hidup rohani, tetapi iman dan ketaatan membuka kembali saluran komunikasi kita dengan Tuhan, menghasilkan pujian yang meluap.

Kisah Zakharia mengingatkan kita bahwa terkadang, Allah mengizinkan keheningan dalam hidup kita untuk mengajarkan kita sesuatu. Keheningan itu bisa menjadi masa untuk merenung, untuk menguji iman kita, dan untuk belajar bergantung sepenuhnya pada-Nya. Dan ketika waktunya tiba, Allah akan memulihkan suara kita, bukan hanya untuk berbicara, tetapi untuk memuji Dia dengan sukacita yang baru ditemukan. Kebisuan yang lama telah digantikan oleh suara pujian yang membahana, menjadi saksi kebesaran dan kesetiaan Tuhan.