"Tetapi apakan salahnya tuan itu berkata kepadanya: ‘Marilah makan.’ Atau apabila ia menyuruhnya duduk makan?"
Ayat Lukas 17:9 ini mungkin terkesan sederhana, namun di dalamnya terkandung sebuah ajaran yang mendalam mengenai kerendahan hati, pelayanan, dan penghargaan. Dalam konteks perikop sebelumnya, Yesus sedang berbicara tentang bagaimana seharusnya pengikut-Nya bersikap terhadap dosa dan pengampunan. Ia menekankan pentingnya tidak tersandung dan pentingnya memberikan pengampunan berulang kali. Ayat ini kemudian hadir sebagai ilustrasi dari sikap hati yang seharusnya dimiliki oleh para hamba, atau dalam makna yang lebih luas, oleh setiap orang yang melayani orang lain, terutama dalam ranah spiritual.
Pertanyaan retoris yang diajukan Yesus kepada pendengarnya – "Tetapi apakan salahnya tuan itu berkata kepadanya: ‘Marilah makan.’ Atau apabila ia menyuruhnya duduk makan?" – menyoroti kebiasaan dan ekspektasi sosial pada masa itu. Seorang hamba yang telah menyelesaikan semua tugas yang diperintahkan oleh tuannya, diharapkan untuk tidak langsung duduk dan menikmati hidangannya sendiri. Sebaliknya, ia seharusnya menunggu sampai tuannya selesai makan atau mendapatkan perintah khusus untuk makan. Namun, Yesus justru menyodorkan skenario yang berlawanan: apa salahnya tuan tersebut menawarkan jamuan kepada hambanya?
Ini bukan berarti Yesus sedang mengajarkan bahwa seorang hamba berhak menuntut penghargaan atas semua yang telah dilakukannya. Jauh dari itu. Ajaran Yesus yang konsisten adalah tentang melayani dengan hati yang rendah hati, tanpa pamrih, dan tanpa mengharapkan balasan yang setara di dunia ini. Ayat ini justru ingin menunjukkan sisi lain dari pelayanan yang tulus: yaitu, bahwa melayani dengan penuh kasih dan kerendahan hati patut dihargai. Sikap tuan yang mengajak hambanya untuk makan adalah sebuah tindakan kemurahan hati, sebuah pengakuan implisit atas kerja keras dan kesetiaan sang hamba.
Dalam kehidupan modern, konteksnya mungkin berbeda, namun prinsipnya tetap relevan. Kita sering kali terlibat dalam berbagai peran: sebagai orang tua bagi anak-anak, sebagai pemimpin bagi tim, sebagai rekan kerja, atau sebagai sesama anggota jemaat. Seringkali, kita memberikan pelayanan, waktu, dan tenaga kita tanpa mengharapkan imbalan materi. Namun, ayat ini mengingatkan kita untuk tidak meremehkan nilai dari kebaikan hati dan apresiasi. Menghargai usaha orang lain, bahkan dalam bentuk yang sederhana seperti ucapan terima kasih atau tawaran kebaikan, dapat menjadi motivasi yang besar dan menunjukkan bahwa pelayanan kita tidak sia-sia.
Lebih dalam lagi, ayat ini dapat dimaknai sebagai sebuah gambaran dari hubungan antara umat manusia dengan Tuhan. Kita adalah hamba-Nya, dan segala yang kita miliki dan lakukan adalah atas berkat dan kekuatan dari-Nya. Namun, Tuhan dalam kemurahan-Nya yang tak terhingga, seringkali memberikan berkat, kesempatan, dan pengampunan kepada kita, bahkan ketika kita mungkin merasa belum layak. Ia mengundang kita untuk "makan" dalam perjamuan kasih-Nya, menikmati berkat-Nya, dan merasakan kehadiran-Nya. Sikap rendah hati yang diajarkan Yesus adalah menerima anugerah-Nya dengan syukur, bukan dengan rasa berhak. Lukas 17:9 mengajarkan kita untuk hidup dalam keseimbangan: melayani dengan rendah hati, namun juga mampu melihat dan menghargai kebaikan, serta menerima kemurahan hati Tuhan dengan hati yang terbuka dan bersyukur.