Kisah yang tercatat dalam Injil Lukas pasal 20, khususnya ayat ke-3, menyajikan sebuah momen dialog yang penuh makna antara Yesus dan para pemimpin agama pada masa itu. Ketika mereka datang kepada Yesus dengan pertanyaan yang penuh jebakan, bertujuan untuk menjebak-Nya, Yesus menunjukkan kebijaksanaan luar biasa dengan membalikkan keadaan. Ia tidak hanya menjawab pertanyaan mereka, tetapi juga mengajukan sebuah pertanyaan kembali yang membuat mereka terdiam dan terpaksa merenungkan otoritas-Nya.
Frasa "Aku juga akan mengajukan satu pertanyaan kepadamu, jawablah Aku" bukanlah sekadar taktik retorika. Ini adalah demonstrasi dari kedalaman pemahaman Yesus terhadap sifat manusia dan cara berinteraksi yang efektif. Para pemimpin agama datang dengan niat buruk, penuh dengan agenda politik dan agama yang sempit. Mereka ingin menguji Yesus, mencari kesalahan, dan kemungkinan besar menjatuhkan-Nya di mata publik. Namun, Yesus melihat jauh ke dalam niat mereka.
Dengan mengajukan pertanyaan balik, Yesus melakukan beberapa hal penting. Pertama, Ia menunjukkan bahwa Ia tidak mudah diintimidasi atau dijebak. Ia memegang kendali percakapan. Kedua, Ia memaksa lawan-lawan-Nya untuk melihat diri mereka sendiri. Pertanyaan Yesus seringkali menyingkap kemunafikan dan kurangnya pemahaman mereka tentang kebenaran ilahi. Dalam konteks Lukas 20, pertanyaan yang diajukan Yesus mengarah pada diskusi tentang otoritas-Nya, memaksa mereka untuk mempertimbangkan dari mana kuasa-Nya berasal.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari momen ini sangat relevan bagi kehidupan kita sehari-hari. Kita seringkali berhadapan dengan situasi di mana orang lain mencoba menjebak kita, mempertanyakan keputusan kita, atau mencoba membuat kita merasa bersalah. Reaksi impulsif mungkin adalah membela diri secara agresif atau membalas dengan kemarahan. Namun, teladan Yesus mengajarkan kita pendekatan yang lebih bijaksana: merespons dengan ketenangan, berpikir jernih, dan jika perlu, mengajukan pertanyaan yang menggugah.
Kebijaksanaan yang ditunjukkan Yesus bukan hanya tentang cerdas dalam berdebat, tetapi lebih dalam lagi, tentang pemahaman akan kebenaran dan kasih. Ia menggunakan kesempatan ini untuk mengajar, bukan hanya untuk memenangkan argumen. Pertanyaan yang Diajukan Yesus dalam ayat-ayat selanjutnya (dalam konteks Lukas 20) secara efektif membongkar alasan di balik ketidakpercayaan dan penolakan mereka. Mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit: mengakui otoritas Yesus, atau tetap dalam kebingungan dan penolakan mereka sendiri.
Dalam menghadapi konflik atau tantangan dalam hubungan interpersonal, kita dapat belajar untuk tidak langsung bereaksi, melainkan mengambil jeda, merenungkan situasi, dan mempertimbangkan untuk mengajukan pertanyaan yang dapat membuka dialog yang lebih jujur dan konstruktif. Seperti Yesus, tujuan kita seharusnya bukan untuk "mengalahkan" lawan bicara, tetapi untuk membawa terang kebenaran dan pemahaman. Mengajukan pertanyaan yang tepat dapat menjadi alat yang ampuh untuk mencapai tujuan ini, memaksa refleksi mendalam dan membuka jalan bagi resolusi yang lebih baik.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa kebijaksanaan sejati tidak hanya terletak pada pengetahuan, tetapi pada kemampuan untuk menerapkannya dengan cara yang memuliakan Tuhan dan membangun sesama. Yesus menunjukkan bahwa dialog yang penuh hormat, bahkan dengan mereka yang memiliki niat buruk, dapat menjadi sarana untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih besar.