Ayat ini dari kitab Maleakhi berbicara tentang kekecewaan Tuhan terhadap cara umat-Nya mempersembahkan korban. Dalam Perjanjian Lama, persembahan hewan adalah bagian penting dari ibadah dan cara umat Israel untuk menunjukkan ketaatan, penyesalan, dan rasa syukur kepada Tuhan. Namun, dalam pasal ini, Tuhan mengungkapkan betapa tidak tulus dan asal-asalan persembahan yang diberikan oleh para imam dan umat-Nya. Mereka mempersembahkan hewan yang cacat, sakit, atau yang dirampas, yang jelas-jelas merupakan kualitas terburuk yang bisa mereka berikan.
Tuhan tidak hanya peduli pada apa yang kita berikan, tetapi juga bagaimana kita memberikannya. Kualitas persembahan mencerminkan sikap hati kita. Ketika kita memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki, itu menunjukkan rasa hormat, penghargaan, dan cinta yang mendalam kepada Tuhan. Sebaliknya, memberikan yang sisa, yang cacat, atau yang sekadar memenuhi kewajiban tanpa hati, menunjukkan ketidakpedulian dan bahkan penghinaan terhadap Sang Pemberi segala berkat.
Dalam konteks kekinian, konsep persembahan ini tidak hanya terbatas pada persembahan materi di gereja. Ini mencakup seluruh aspek kehidupan kita: waktu, talenta, tenaga, pikiran, dan harta benda yang kita miliki. Apakah kita memberikan waktu terbaik kita untuk melayani Tuhan dan sesama? Apakah kita menggunakan talenta yang Tuhan berikan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab? Atau apakah kita hanya memberikan sisa-sisa waktu dan tenaga kita setelah semua urusan duniawi selesai? Maleakhi 1:13 mengingatkan kita untuk tidak mempersembahkan hal-hal yang 'cacat' atau 'pincang' dalam hidup kita kepada Tuhan.
Pesan dari Maleakhi 1:13 sangat relevan. Seringkali, kita menjadi lelah atau merasa terbebani oleh tuntutan kehidupan rohani. Kita mungkin tergoda untuk berpikir, "Ah, sudahlah, yang penting ikut saja," atau "Ini kan hanya amal sedikit." Namun, Tuhan melihat hati. Dia merindukan persembahan yang tulus, yang lahir dari hati yang penuh syukur dan kasih. Persembahan yang "cacat" dan "pincang" tidak akan pernah memuaskan hati Tuhan, justru akan dianggap sebagai penghinaan.
Oleh karena itu, marilah kita merenungkan kembali cara kita mempersembahkan hidup kita kepada Tuhan. Apakah kita memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki? Apakah semangat kita dalam melayani dan memberi penuh gairah, atau sekadar formalitas? Tuhan berfirman dalam Maleakhi 1:11, "Sebab sejak matahari terbit sampai terbenam, nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa lain, dan di setiap tempat orang mempersembahkan korban offerings kepada nama-Ku, juga persembahan persepuluhan. Sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa lain," firman TUHAN semesta alam. Ini menunjukkan kerinduan Tuhan agar nama-Nya dihormati melalui persembahan yang layak dari seluruh bangsa. Maleakhi 1:13 adalah teguran agar kita kembali ke standar yang benar dalam beribadah dan memberi.
Mari kita berkomitmen untuk memberikan persembahan yang terbaik, yang mencerminkan rasa hormat dan cinta kita kepada Tuhan. Baik itu dalam bentuk materi, pelayanan, maupun seluruh hidup kita, biarlah itu menjadi persembahan yang berkenan di hadapan-Nya, bukan sesuatu yang "melelahkan" dan "dihina" karena kualitasnya yang buruk.