"Apabila kamu mempersembahkan binatang yang buta untuk korban persembahan, itu tidak salah. Dan apabila kamu mempersembahkan binatang yang pincang atau sakit, itu juga tidak salah."
Kitab Maleakhi merupakan salah satu kitab terakhir dalam Perjanjian Lama, yang berfungsi sebagai pengingat terakhir dari Allah kepada umat-Nya sebelum masa keheningan panjang sebelum kedatangan Yohanes Pembaptis. Salah satu pesan yang paling tajam dan relevan dari kitab ini datang melalui pasal 1, khususnya ayat 8, yang menyentuh inti dari ibadah dan persembahan kita kepada Tuhan.
Ayat Maleakhi 1:8 secara gamblang menyatakan, "Apabila kamu mempersembahkan binatang yang buta untuk korban persembahan, itu tidak salah. Dan apabila kamu mempersembahkan binatang yang pincang atau sakit, itu juga tidak salah." Pernyataan ini mungkin terdengar membingungkan pada awalnya. Bukankah persembahan yang baik yang harus diberikan kepada Tuhan? Namun, konteks historis dan teologis dari ayat ini memberikan pemahaman yang lebih dalam.
Pada masa Maleakhi, bangsa Israel telah kembali dari pembuangan dan sedang membangun kembali Bait Suci serta praktik ibadah mereka. Sayangnya, semangat pengabdian kepada Allah tampaknya telah memudar. Banyak dari mereka mulai mempersembahkan binatang-binatang yang cacat, sakit, atau tidak sempurna kepada Tuhan. Ini adalah bentuk ketidakpedulian dan penghinaan terhadap Allah. Mereka memberikan "sisa-sisa" terbaik mereka, bukan yang terbaik dari yang terbaik.
Perintah Allah melalui Musa sebelumnya menetapkan bahwa korban persembahan haruslah "yang terbaik tanpa cacat" (Keluaran 12:5; Imamat 1:3). Dengan mempersembahkan binatang yang buta, pincang, atau sakit, umat Tuhan secara aktif melanggar perintah ini dan menunjukkan sikap yang meremehkan kekudusan Allah dan nilai pengorbanan yang Dia minta. Allah menegaskan dalam ayat sebelumnya (Maleakhi 1:7) bahwa para imam telah menajiskan mezbah-Nya dengan persembahan yang "tidak layak".
Ayat 8 ini adalah semacam pernyataan ironis atau sarkastik dari Allah. Dia tidak mengatakan bahwa persembahan yang cacat itu benar-benar diterima. Sebaliknya, Dia menegaskan bahwa tindakan mereka itu "tidak salah" dalam arti bahwa mereka *pantas* mendapatkan teguran keras. Itu adalah cara Allah menunjukkan betapa rendahnya standar yang mereka terapkan, dan betapa tidak layaknya persembahan mereka. Mereka merasa tidak ada yang salah dengan memberikan yang terburuk, padahal justru itulah letak kesalahannya yang besar di mata Allah.
Pesan ini sangat relevan bagi kita di masa kini. Persembahan yang Allah inginkan bukanlah sekadar materi, melainkan hati yang tulus, roh yang hancur, dan seluruh hidup yang dikuduskan untuk-Nya. Ketika kita memberikan waktu kita, talenta kita, harta kita, atau bahkan ucapan syukur kita kepada Tuhan dengan sikap setengah hati, tanpa gairah, atau dengan cara yang asal-asalan, kita melakukan hal yang sama seperti umat Maleakhi. Kita memberikan persembahan yang "cacat" secara rohani.
Maleakhi 1:8 adalah panggilan untuk merefleksikan kualitas ibadah kita. Apakah kita mempersembahkan yang terbaik dari diri kita kepada Allah, atau kita memberikan apa yang tersisa, yang tidak kita inginkan, yang sudah tidak berharga bagi dunia? Allah berhak mendapatkan yang terbaik, karena Dialah Sumber segala kebaikan dan Dia telah memberikan yang terbaik bagi kita melalui Kristus. Mari kita membawa persembahan yang layak dan tulus kepada Tuhan, agar ibadah kita berkenan di hadapan-Nya.