Ayat Markus 11:32 menempatkan kita pada sebuah momen krusial dalam pelayanan Yesus. Pertanyaan yang diajukan kepada-Nya mengenai otoritas pelayanan-Nya, serta jawaban yang diberikan oleh para pemimpin agama, mengungkapkan sebuah dinamika penting: ketakutan akan opini publik dan penolakan terhadap kebenaran ilahi. Ketika Yesus balik bertanya kepada mereka, "Dari mana Yohanes mendapat kuasa untuk membaptis? Dari surga atau dari manusia?" para pemimpin agama itu terperangkap dalam dilema.
Mereka sadar betul bahwa jika mereka mengakui otoritas ilahi Yohanes Pembaptis, maka mereka secara tidak langsung harus mengakui otoritas Yesus sendiri, karena Yohanes adalah pendahulu-Nya. Sebaliknya, jika mereka menyatakan bahwa Yohanes berasal dari manusia, mereka akan menghadapi murka rakyat yang menganggap Yohanes sebagai nabi yang diutus Tuhan. Ketakutan akan reaksi umat inilah yang membuat mereka memilih jalan tengah yang licik, yaitu berpura-pura tidak tahu.
Jawaban mereka, "Kami tidak tahu," bukanlah ungkapan ketidaktahuan yang tulus, melainkan sebuah taktik untuk menghindari tanggung jawab dan menjaga posisi mereka. Ini adalah cerminan dari hati yang tertutup terhadap kebenaran, meskipun dihadapkan pada bukti yang jelas. Otoritas sejati, seperti yang dimiliki Yohanes dan Yesus, berasal dari Tuhan. Namun, mereka lebih memilih untuk bersembunyi di balik keramaian dan menjaga citra diri, daripada tunduk pada kehendak Ilahi.
Ayat ini mengajarkan kita pelajaran berharga tentang keberanian untuk mengakui kebenaran, sekecil apa pun itu. Ketakutan akan pandangan orang lain sering kali menjadi penghalang terbesar dalam kita menjalani hidup sesuai dengan panggilan Tuhan. Otoritas ilahi tidak tunduk pada opini manusia; ia teguh berdiri atas dasar kebenaran abadi. Saat kita merenungkan Markus 11:32, mari kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita berani menghadapi kebenaran, meskipun itu berarti melawan arus atau berbenturan dengan pandangan mayoritas?
Pertanyaan mengenai sumber otoritas adalah pertanyaan mendasar yang terus bergema sepanjang zaman. Di era modern ini, kita mungkin dihadapkan pada berbagai "otoritas" yang mengklaim kebenaran. Namun, seperti para pemimpin agama pada zaman itu, kita perlu bijaksana dalam membedakan mana yang berasal dari sumber ilahi dan mana yang hanya merupakan konstruksi manusia yang rapuh. Iman yang sejati tidak takut untuk menguji dan mencari sumber kebenaran yang teguh, yaitu Firman Tuhan, yang memiliki otoritas kekal.