Ayat Markus 15:3 adalah salah satu momen krusial dalam narasi Paskah, yang mencatat percakapan langsung antara Yesus Kristus dan Pontius Pilatus, gubernur Romawi di Yudea. Peristiwa ini terjadi pada hari pengadilan Yesus, sebuah persidangan yang sarat dengan intrik politik, teologi, dan takdir ilahi.
Pertanyaan Pilatus, "Engkaukah raja orang Yahudi?", bukan sekadar pertanyaan biasa. Ini adalah inti dari tuduhan yang diajukan terhadap Yesus oleh para pemimpin agama Yahudi yang menyerahkannya kepada otoritas Romawi. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman terhadap tatanan yang ada, baik secara politik maupun religius. Gelar "raja" bagi mereka memiliki konotasi pemberontakan terhadap Kekaisaran Romawi, dan Pilatus, sebagai perwakilan Romawi, harus menanggapi tuduhan semacam itu dengan serius. Keberadaan raja lain di wilayah yang dikuasai Romawi adalah masalah keamanan yang tidak bisa diabaikan oleh seorang gubernur.
Jawaban Yesus, "Engkau sendiri mengatakannya," singkat namun sangat dalam maknanya. Jawaban ini tidak langsung membantah atau mengkonfirmasi dalam pengertian duniawi. Sebaliknya, Yesus mengembalikan pertanyaan itu kepada Pilatus, menyiratkan bahwa Pilatus sendiri telah sampai pada kesimpulan itu, atau setidaknya telah mengucapkannya. Ini bisa diartikan bahwa Yesus menerima label "raja" tetapi dengan pengertian yang berbeda dari yang dimaksudkan oleh Pilatus dan para penuduhnya. Kerajaan Yesus bukanlah kerajaan politik yang berbasis pada kekuatan militer atau kekuasaan teritorial seperti kerajaan Romawi. Kerajaan-Nya adalah kerajaan spiritual, sebuah pemerintahan yang berpusat pada kebenaran, kasih, dan penebusan.
Dalam konteks sejarah, Pilatus berada dalam posisi yang sulit. Dia adalah seorang administrator yang harus menjaga perdamaian dan ketertiban di provinsi yang bergejolak. Di satu sisi, dia memiliki kekuasaan untuk membebaskan Yesus, seperti yang kemudian dia coba lakukan, tetapi di sisi lain, tekanan dari para pemimpin Yahudi dan kekhawatiran akan kerusuhan publik membuatnya bertindak menentang nuraninya. Pertanyaan tentang klaim Yesus sebagai raja adalah inti dari dilema Pilatus. Apakah Yesus benar-benar mengklaim takhta yang akan menantang kekuasaan Romawi, atau apakah klaim tersebut disalahartikan dan dibesar-besarkan oleh musuh-musuh-Nya?
Melalui dialog singkat ini, Injil Markus menyoroti sifat unik dari kerajaan Yesus. Ia tidak datang untuk memerintah seperti raja-raja dunia, yang mengumpulkan kekayaan dan menguasai bangsa-bangsa. Sebaliknya, Ia datang untuk melayani, untuk menebus, dan untuk mendirikan kerajaan yang kekal di hati manusia. Pertanyaan Pilatus, dan jawaban Yesus, menjadi titik terang yang mengungkapkan perbedaan fundamental antara kekuasaan duniawi dan kekuasaan ilahi. Penderitaan dan kematian Yesus yang mengikuti peristiwa ini adalah bukti dari pengorbanan-Nya demi mendirikan kerajaan yang tidak akan pernah berlalu.
Markus 15:3, meskipun ringkas, menawarkan kedalaman teologis yang luar biasa, memaksa pembaca untuk merenungkan sifat sebenarnya dari Yesus sebagai Raja dan kerajaan yang Ia wakili. Ini adalah momen ketika kebenaran ilahi berhadapan dengan persepsi politik duniawi, membentuk fondasi bagi pemahaman iman Kristen tentang penebusan dan keselamatan.