"Tetapi orang itu menjawabnya: "Saudaraku, aku tidak berlaku curang terhadapmu. Bukankah kita telah sepakat dengan harga satu dinar?""
Kisah dalam Injil Matius pasal 20, khususnya perikop yang berisi ayat 13, menyajikan sebuah ilustrasi yang kuat tentang cara pandang Kerajaan Allah terhadap keadilan dan kasih. Perumpamaan pekerja di kebun anggur ini seringkali menimbulkan pertanyaan dan refleksi mendalam, terutama ketika kita membandingkannya dengan sistem penghargaan duniawi yang kita kenal. Ayat Matius 20:13, di mana pemilik kebun anggur menjawab pekerja yang pertama kali bekerja seharian, menjadi titik krusial dalam percakapan ini. Jawaban yang terdengar lugas, "Saudaraku, aku tidak berlaku curang terhadapmu. Bukankah kita telah sepakat dengan harga satu dinar?", sejatinya membuka pintu untuk pemahaman yang lebih luas tentang anugerah ilahi.
Dalam konteks perumpamaan, para pekerja pertama merasa berhak mendapatkan upah yang lebih tinggi karena mereka telah bekerja lebih lama, sejak pagi hari. Mereka melihat pekerjaan yang sama – memetik anggur – namun dengan durasi waktu yang berbeda. Keadilan yang mereka pahami adalah proporsional: semakin lama bekerja, semakin besar upah yang seharusnya diterima. Logika ini sangat umum di masyarakat kita. Dalam dunia kerja modern, jam kerja yang lebih panjang atau tanggung jawab yang lebih besar biasanya dikaitkan dengan gaji yang lebih tinggi. Ini adalah prinsip yang dapat diterima oleh nalar manusia.
Namun, pemilik kebun anggur memiliki perspektif yang berbeda. Ia bukan hanya seorang pemberi kerja, tetapi juga mencerminkan karakter Allah. Perjanjian yang dibuatnya dengan semua pekerja adalah satu dinar. Ini adalah upah yang telah disepakati, dan pemilik kebun memenuhi perjanjian tersebut dengan setia kepada semua orang, tanpa kecuali. Keadilan di sini bukan diukur dari lamanya waktu bekerja, melainkan dari pemenuhan perjanjian yang tulus. Pemilik kebun tidak mengurangi upah para pekerja yang datang kemudian, melainkan justru memberikan upah yang sama kepada mereka yang bekerja sebentar seperti kepada yang bekerja seharian penuh.
Apa yang dapat kita pelajari dari ayat Matius 20:13 ini? Pertama, bahwa cara pandang Allah terhadap keadilan dan upah sangat berbeda dengan cara pandang manusia. Allah tidak bekerja berdasarkan hitungan jam kerja atau jasa yang kita peroleh semata. Kasih karunia-Nya melimpah dan melampaui segala perhitungan manusiawi. Kedua, perumpamaan ini menyoroti kebaikan hati pemilik kebun yang luar biasa. Ia memiliki kebebasan untuk mendistribusikan upahnya. Dengan memberikan upah yang sama, ia menunjukkan kemurahan hati yang tidak terduga. Ini adalah gambaran dari anugerah Allah yang diberikan kepada kita, seringkali tanpa kita layak menerimanya berdasarkan jasa kita.
Matius 20:13 mengajarkan kita untuk melepaskan egoisme dan rasa iri hati. Ketika kita melihat orang lain menerima berkat atau kasih karunia yang sama, bahkan mungkin lebih, padahal kita merasa telah berjuang lebih keras, kita diingatkan untuk tidak menghakimi. Sebaliknya, kita dipanggil untuk bersukacita dalam kemurahan hati pemilik kebun, yang dalam perumpamaan ini melambangkan Allah yang Maha Pengasih. Upah satu dinar yang disepakati adalah janji yang ditepati, dan pemberian lebih kepada yang lain adalah ekspresi kasih-Nya yang tak terbatas. Kisah ini mendorong kita untuk hidup dalam kesadaran akan anugerah, bukan semata-mata berdasarkan usaha atau jasa, melainkan dalam penerimaan kasih Allah yang melimpah.
Renungan dari ayat ini mengundang kita untuk memeriksa hati kita. Apakah kita masih memegang teguh perhitungan duniawi ketika berinteraksi dengan sesama atau ketika memandang karya Allah? Atau, apakah kita telah terbuka untuk memahami dan mengalami kasih karunia yang melampaui segala perhitungan, seperti yang digambarkan dalam Matius 20:13? Keseluruhan perikop ini adalah pengingat yang indah bahwa Kerajaan Surga beroperasi berdasarkan prinsip kasih yang murah hati, bukan sekadar keadilan yang kaku.