Firman Tuhan dalam Mazmur 102:11 memberikan gambaran yang mendalam tentang sifat kefanaan dan sementara dari kehidupan manusia. Pemazmur, dalam kondisi dukacita dan penderitaan, menyamakan usianya dengan dedaunan yang melayu dan dirinya dengan asap yang lenyap. Pernyataan ini bukan sekadar ungkapan kesedihan, melainkan sebuah pengakuan akan realitas eksistensi kita yang terbatas di dunia ini. Dedaunan yang melayu menggambarkan siklus kehidupan yang alamiah, di mana segala sesuatu memiliki masa tumbuhnya, masa jayanya, dan pada akhirnya, masa kemundurannya. Begitu pula dengan hidup kita, yang memiliki awal, puncak, dan akhir yang tak terhindarkan.
Pencitraan asap yang lenyap semakin memperkuat makna kerapuhan ini. Asap adalah sesuatu yang ringan, mudah tercerai-berai, dan cepat menghilang tanpa jejak. Ia tidak memiliki substansi yang kokoh, tidak dapat dipegang, dan segera kembali ke ketiadaan. Demikianlah hidup manusia, jika dilihat dari sudut pandang duniawi semata, bisa terasa begitu rapuh dan singkat. Jaman berganti, generasi datang dan pergi, segala kekuatan dan kemegahan duniawi pada akhirnya akan memudar. Ingatan tentang keberadaan kita pun bisa memudar seiring waktu, seperti asap yang terbawa angin.
Namun, di balik gambaran kerapuhan ini, Mazmur 102 tidak berhenti di situ. Pemazmur terus melanjutkannya dengan sebuah harapan yang teguh. Ia menyadari bahwa meskipun hidupnya seperti dedaunan yang melayu dan asap yang lenyap, ada satu keberadaan yang kekal dan tak berubah, yaitu Tuhan. Di tengah keterbatasan dan kerapuhan ciptaan, ada Pencipta yang memiliki sifat abadi. Pemazmur mengingatkan dirinya sendiri dan kita bahwa Tuhan tidak akan berdiam diri. Ia akan bangkit dan menunjukkan belas kasihan-Nya kepada Sion, karena waktu untuk menunjukkan kasih dan membangun kembali kota-Nya telah tiba.
Oleh karena itu, renungan atas Mazmur 102:11 mengajarkan kita untuk memiliki perspektif yang seimbang. Di satu sisi, kita perlu menyadari dan menghargai betapa berharganya setiap momen hidup yang diberikan Tuhan, karena hidup ini memang singkat dan rapuh. Kita diingatkan untuk tidak menggantungkan harapan pada hal-hal duniawi yang sementara, melainkan pada Tuhan yang kekal. Di sisi lain, kesadaran akan kerapuhan ini justru seharusnya memotivasi kita untuk hidup dengan lebih bermakna, mencari kebenaran dan keadilan, serta berserah pada kasih dan kuasa Tuhan yang mampu menguatkan dan memulihkan kita di tengah segala keterbatasan. Tuhan tetap menjadi jangkar kita, sumber kekuatan yang abadi, bahkan ketika segala sesuatu di sekitar kita terasa seperti melayu dan lenyap.
Dengan memahami ayat ini, kita dapat menemukan kedamaian dalam ketidakpastian hidup. Kerapuhan bukan berarti tanpa harapan, melainkan sebuah pengingat bahwa sumber kekuatan sejati kita ada pada Sang Pencipta yang tidak pernah melayu dan tidak pernah lenyap. Marilah kita membawa segala kekhawatiran dan kerapuhan kita kepada-Nya, mempercayakan setiap lembaran hidup kita pada tangan-Nya yang setia.