Ayat Mazmur 137:2 adalah ungkapan yang begitu kuat dan emosional, menggambarkan penderitaan bangsa Israel yang dibuang ke Babel. Di tanah asing ini, jauh dari tanah perjanjian mereka, kehidupan mereka dipenuhi kesedihan dan kepedihan yang mendalam. Sungai Efrat menjadi saksi bisu dari tangisan pilu mereka, dan di sanalah mereka meratapi kehilangan tanah air, kebebasan, dan cara hidup mereka yang dulu.
Frasa "Di pohon-pohon arang di sana kami menggantung harpa kami" bukanlah sekadar metafora. Harpa, dalam konteks budaya kuno, seringkali menjadi simbol kegembiraan, perayaan, dan ekspresi syukur. Namun, di tepi sungai Babel, harpa-harpa itu justru menjadi simbol kesedihan yang tak terucap. Menggantung harpa di pohon arang berarti menolak untuk bernyanyi atau bermain musik. Suasana sukacita telah direnggut paksa, digantikan oleh keheningan yang berat dan hati yang merana.
Pemazmur menggambarkan bagaimana para penculik mereka meminta mereka untuk bernyanyi, untuk menghibur para penindas dengan lagu-lagu Sion. Namun, bagaimana mungkin mereka bernyanyi di tanah asing, di tengah penderitaan, dan di bawah ancaman? Nyanyian syukur dan pujian yang dulu dikumandangkan di Bait Suci kini terasa hambar dan tidak mungkin dinyanyikan. Itu adalah permintaan yang kejam, yang hanya akan menambah luka di hati mereka yang sudah terluka.
Kisah ini bukan hanya tentang peristiwa sejarah belaka, tetapi juga memiliki relevansi yang mendalam bagi kehidupan spiritual kita. Seringkali, kita juga mengalami masa-masa sulit di mana beban hidup terasa begitu berat, seolah kita berada di "sungai Babel" kita sendiri. Mungkin kita kehilangan pekerjaan, menghadapi masalah keluarga, atau bergumul dengan keraguan iman. Di saat-saat seperti itu, semangat kita bisa ikut tergantung, seperti harpa yang tak lagi dimainkan.
Mazmur 137:2 mengingatkan kita bahwa kesedihan itu nyata dan valid. Sangat wajar untuk merasa sedih, berduka, dan merindukan saat-saat yang lebih baik. Namun, cerita ini juga memberikan secercah harapan. Meskipun harpa mereka tergantung, bangsa Israel tidak sepenuhnya menyerah. Mereka tetap menyimpan identitas mereka dan merindukan Sion. Ini mengajarkan kita pentingnya untuk tidak melupakan jati diri dan harapan kita, bahkan dalam kesulitan terberat sekalipun.
Dalam konteks iman, ayat ini mendorong kita untuk menghadapi penderitaan dengan kejujuran. Daripada memaksakan kebahagiaan palsu, lebih baik mengakui rasa sakit kita kepada Tuhan. Kita bisa membawa harpa-harpa kerinduan kita, kesedihan kita, dan pertanyaan-pertanyaan kita kepada-Nya. Seperti yang terjadi kemudian dalam Mazmur 137, meskipun dimulai dengan kesedihan mendalam, akhirnya pemazmur berdoa kepada Tuhan, menunjukkan bahwa bahkan dalam keputusasaan, doa dan penyerahan diri kepada Tuhan tetap menjadi sumber kekuatan dan pengharapan.