"Mengapa engkau memegahkan diri dengan kejahatan, hai orang lalim,
sementara kasih setia Allah terus-menerus berlaku?"
Ayat Mazmur 52:3 menyentuh inti dari kontemplasi spiritual yang mendalam, mengangkat pertanyaan retoris yang tajam kepada "orang lalim" yang bangga akan kejahatannya. Ayat ini menggali perbedaan mencolok antara keangkuhan dan kekejaman manusia dengan kemurahan hati dan kebaikan Allah yang tak berkesudahan. Ini adalah refleksi atas sifat dasar kejahatan dan kekuasaan, serta bagaimana hal tersebut berhadapan dengan keadilan ilahi yang abadi. Penulis Mazmur, dalam hal ini Daud, sering kali merenungkan ketidakadilan yang ia alami, tetapi selalu kembali pada keyakinannya pada kesetiaan dan kuasa Allah.
Frasa "memegahkan diri dengan kejahatan" menggambarkan seseorang yang tidak hanya melakukan perbuatan buruk, tetapi juga menemukan kesenangan, kebanggaan, bahkan identitas dari tindakan-tindakan tersebut. Ini adalah gambaran kepuakan moral yang mengerikan, di mana hati nurani telah tumpul dan batas-batas etika telah dilanggar tanpa penyesalan. Dalam dunia yang sering kali tampak mendukung mereka yang licik dan kejam, godaan untuk mengagumi kekuatan semacam itu, meskipun cacat secara moral, bisa jadi kuat. Namun, Mazmur mengingatkan kita bahwa kebanggaan semacam itu adalah pijakan yang rapuh, dibangun di atas pasir yang akan terkikis.
Sebaliknya, penulis Mazmur menyajikan kontras yang kuat dengan sifat Allah yang digambarkan sebagai "kasih setia... terus-menerus berlaku." Istilah Ibrani untuk kasih setia adalah hesed, sebuah konsep yang kaya makna dan mencakup kebaikan, cinta, kesetiaan, dan komitmen yang tak tergoyahkan. Kasih setia Allah bukanlah sesuatu yang bersifat sementara atau tergantung pada kelayakan manusia. Ia adalah kualitas intrinsik dari keberadaan-Nya, sebuah dasar yang kokoh bagi segala sesuatu yang diciptakan. Ia terus-menerus, artinya tidak pernah berhenti, tidak pernah gagal, dan selalu tersedia.
Pertanyaan yang diajukan dalam Mazmur 52:3 bukanlah pertanyaan mencari informasi, melainkan pertanyaan retoris yang bertujuan untuk menyoroti kebodohan dan kesia-siaan dari kesombongan orang jahat. Mengapa seseorang harus begitu terpesona oleh sesuatu yang pada akhirnya bersifat merusak dan fana, sementara kebaikan abadi tersedia? Ini adalah panggilan untuk melihat melampaui penampilan duniawi dan menyadari kebenaran yang lebih dalam. Kebanggaan pada kejahatan pada akhirnya akan membawa kehancuran, baik bagi pelaku maupun bagi mereka yang terkena dampaknya. Sebaliknya, mengandalkan kasih setia Allah membawa kehidupan, kedamaian, dan ketahanan yang sejati.
Dalam konteks kehidupan modern, ayat ini tetap relevan. Kita sering dihadapkan pada berita tentang ketidakadilan, penipuan, dan kekejaman yang tampaknya menuai keuntungan bagi pelakunya. Namun, Mazmur 52:3 mengingatkan kita untuk tidak tertipu oleh kesuksesan sementara dari kejahatan. Kebenaran ilahi, kasih setia Allah, adalah realitas yang kekal. Fokus pada kejahatan hanya akan membawa kepahitan dan kehancuran diri, sementara iman pada kasih setia-Nya akan membangun fondasi yang kokoh untuk kehidupan yang bermakna dan berkelanjutan. Ini adalah undangan untuk mengarahkan pandangan kita dari hal-hal yang bersifat sementara dan fana kepada kebenaran yang abadi dan menguatkan.