Mazmur 73:12 - Mengapa Jalan Orang Fasik Sukses?

"Sesungguhnya, demikianlah orang-orang fasik,
mereka selalu aman,
dan kaumnya bertambah banyak."

Ayat ini dari Kitab Mazmur, khususnya pasal 73 ayat 12, menyajikan sebuah pertanyaan yang seringkali menggumuli hati banyak orang, bahkan orang-orang yang beriman. Penulis Mazmur, Asaf, mengungkapkan kebingungan dan kepedihan yang mendalam ketika ia mengamati kemakmuran dan kesuksesan orang-orang fasik. Di tengah perjuangan dan kesetiaan mereka kepada Tuhan, mereka melihat orang-orang yang hidup sembarangan, tanpa menghiraukan ajaran ilahi, justru terlihat hidup dengan sangat baik. Ini menimbulkan rasa bertanya-tanya: mengapa demikian? Apakah kesetiaan kepada Tuhan benar-benar membawa keuntungan?

Observasi Asaf bukanlah renungan teoritis semata. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Orang-orang fasik itu digambarkan sebagai mereka yang "selalu aman" dan "kaumnya bertambah banyak." Frasa "selalu aman" bisa diartikan sebagai tidak adanya kekhawatiran, kesulitan, atau ancaman yang berarti dalam hidup mereka. Mereka menikmati kedamaian, stabilitas, dan kemudahan yang seringkali tidak dinikmati oleh orang yang taat. Lebih jauh lagi, mereka juga mengalami pertumbuhan, baik dalam hal pengaruh, kekayaan, maupun keturunan. Seolah-olah semua aspek kehidupan mereka berjalan mulus, didukung oleh keberuntungan atau mungkin sistem duniawi yang menguntungkan mereka.

Jalan Orang Fasik Jalan Orang Benar Kemakmuran Ujian

Kondisi ini tentu saja menguji iman. Bagi Asaf, hal ini sampai membuatnya merasa hampir tersandung. Ia membandingkan dirinya sendiri dengan orang-orang fasik itu. Ia merenungkan: "Apakah gunanya aku memelihara hatiku dengan bersih, dan membasuh tanganku dengan mencari keadilan? Karena sepanjang hari aku kena tulah, dan mendapat malu setiap pagi." (Mazmur 73:13-14). Pengalaman ini menunjukkan bahwa memandang kesuksesan duniawi semata sebagai tolok ukur kebenaran atau keberkahan adalah sebuah jebakan. Mazmur 73:12 mengingatkan kita bahwa dunia seringkali tidak bekerja sesuai dengan logika iman kita.

Namun, Mazmur 73 tidak berhenti di situ. Asaf terus merenungkan makna dari semua ini, dan akhirnya ia menemukan perspektif yang berbeda. Ia menyadari bahwa kemakmuran orang fasik itu bersifat sementara, dan akhir mereka akan berbeda jauh. Ia melihat bahwa kebersamaan dengan Tuhan adalah harta yang tak ternilai, sebuah kepastian yang jauh lebih berharga daripada segala kemakmuran duniawi yang fana. "Tetapi aku, aku senantiasa bersama-sama Engkau; Engkau memegang tangan kananku. ... Siapa gerangan ada padaku di langit selain Engkau? Dan di bumi tidak ada yang kuingini selain Engkau." (Mazmur 73:23, 25).

Oleh karena itu, Mazmur 73:12 bukan hanya sekadar pengamatan tentang ketidakadilan duniawi, tetapi juga sebuah undangan untuk meninjau kembali fondasi kebahagiaan dan kesuksesan kita. Apakah kita mengukur kehidupan hanya dari keberhasilan duniawi yang terlihat, ataukah kita mencari kepuasan yang kekal dalam hubungan dengan Tuhan? Pemahaman yang benar akan tujuan akhir dan nilai-nilai ilahi akan membantu kita melewati keraguan dan ketidakadilan yang terkadang kita saksikan dalam kehidupan, dan meyakinkan kita bahwa kesetiaan kepada Tuhan adalah jalan yang paling diberkati.