Mazmur 74 adalah ratapan pilu yang ditulis oleh Asaf, seorang Lewi yang dipercaya memimpin ibadah di Bait Allah. Dalam mazmur ini, Asaf menggambarkan kehancuran yang menimpa Yerusalem dan Bait Allah oleh bangsa-bangsa asing. Ayat kelima, "Orang-orang yang meninggikan kapak terhadapnya, di tengah rimba kayu, mereka menjatuhkannya," memberikan gambaran yang sangat kuat tentang tindakan penghancuran yang brutal dan sistematis terhadap simbol keagungan Israel.
Bait Allah bukan sekadar bangunan fisik; ia adalah pusat spiritual bangsa Israel, tempat mereka bertemu dengan Tuhan, mempersembahkan korban, dan merasakan hadirat-Nya. Kehancurannya adalah pukulan telak yang meruntuhkan identitas dan harapan mereka. Frasa "meninggikan kapak" menyiratkan aksi yang disengaja, penuh kekuatan, dan bertujuan untuk merusak secara total. Ini bukanlah serangan spontan, melainkan upaya terencana untuk menghancurkan apa yang dianggap suci.
Penempatan tindakan ini "di tengah rimba kayu" juga menarik. Ini bisa diartikan sebagai tempat yang tersembunyi dari pandangan publik, sebuah perbuatan keji yang dilakukan dalam kegelapan. Atau, bisa jadi merujuk pada area di sekitar Bait Allah yang dulunya mungkin memiliki pepohonan, namun kini menjadi saksi bisu kekejaman. Apapun interpretasinya, suasana yang digambarkan adalah suasana yang suram dan penuh keputusasaan.
Ayat ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang mengapa hal seperti ini bisa terjadi. Mazmur 74 sendiri mencoba menjawabnya dengan merujuk pada dosa-dosa bangsa Israel dan murka Tuhan yang membiarkan musuh menguasai mereka. Namun, di balik itu, ada ratapan yang mendalam atas perlakuan terhadap "pintu-pintu gerbang" dan "segala ukiran" yang dipecah dan dihancurkan. Ini bukan hanya tentang merusak bangunan, tetapi menghancurkan simbol keagungan, tanda perjanjian, dan tempat persembunyian Tuhan.
Ketika kita merenungkan Mazmur 74:5, kita diingatkan akan kerapuhan ciptaan manusia, bahkan yang paling suci sekalipun, di hadapan kekuasaan yang lebih besar atau ketika manusia berbalik dari Tuhan. Namun, mazmur ini tidak berhenti pada ratapan. Di bagian selanjutnya, Asaf berseru kepada Tuhan untuk mengingat kembali perjanjian-Nya, membangkitkan kembali kuasa-Nya, dan menghakimi musuh-musuh-Nya. Ini menunjukkan bahwa meskipun kehancuran itu nyata dan menyakitkan, harapan akan pemulihan dan keadilan dari Tuhan tetap ada. Ayat ini menjadi pengingat akan dampak destruktif dari tindakan kekerasan terhadap tempat-tempat sakral dan simbol-simbol iman, serta seruan untuk menjaga dan menghormati apa yang telah dikuduskan.