Mikha 6:10

Mikha 6:10 - Apakah Harta yang Diperoleh dengan Cara yang Salah Masih Layak?

"Apakah masih mungkin orang fasik menyimpan kekayaan yang didapat dengan aniaya, dan mengukur nafkah dengan Efa yang curang?"

Ayat Mikha 6:10 mengajukan sebuah pertanyaan retoris yang sangat tajam dan relevan, bukan hanya bagi umat Israel pada zaman Nabi Mikha, tetapi juga bagi kita di era modern. Pertanyaan ini menyentuh inti dari integritas dan moralitas dalam setiap aspek kehidupan, terutama terkait dengan cara kita memperoleh rezeki. Nabi Mikha, dengan gaya profetiknya yang kuat, mengingatkan bahwa keberhasilan materi yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak jujur, penuh tipu daya, atau bahkan penindasan, pada akhirnya akan dipertanyakan keabsahannya di hadapan Tuhan.

Istilah "Efa yang curang" dalam ayat ini merujuk pada alat ukur yang dimanipulasi untuk menipu pembeli. Ini adalah gambaran konkret tentang ketidakjujuran dalam perdagangan. Bayangkan seorang pedagang yang menggunakan timbangan yang berat sebelah atau alat ukur yang sengaja dikecilkan agar ia dapat menjual barang lebih sedikit tetapi menerima bayaran penuh, atau sebaliknya, membeli barang dengan harga murah karena alat ukurnya dilebihkan. Tindakan seperti ini adalah bentuk pencurian terselubung yang merugikan orang lain demi keuntungan pribadi.

Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini berbicara tentang semua bentuk kecurangan, manipulasi, korupsi, dan penipuan dalam mencari nafkah. Apakah itu menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi, menggelapkan dana, memberikan suap, melakukan praktik bisnis yang merugikan konsumen, atau bahkan memeras orang lain – semua itu adalah bagian dari "kekayaan yang didapat dengan aniaya". Mikha mempertanyakan, apakah harta semacam itu benar-benar dapat dinikmati dan dianggap sebagai berkat? Apakah ada keberkahan hakiki dalam kekayaan yang dibangun di atas penderitaan dan kerugian orang lain?

Pertanyaan retoris Nabi Mikha mengundang perenungan yang mendalam. Ia tidak menanyakan apakah seseorang bisa menyimpan harta haram itu secara fisik, tetapi lebih kepada validitas moral dan spiritualnya. Harta yang diperoleh dengan cara yang salah mungkin terlihat menggunung, tetapi nilainya di mata Tuhan sangatlah kecil, bahkan tidak bernilai. Lebih dari itu, harta tersebut membawa beban dosa dan akan mendatangkan murka ilahi. Pengalaman bangsa Israel sendiri seringkali menunjukkan bahwa kemakmuran yang diperoleh melalui penyembahan berhala atau cara-cara yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan seringkali berakhir dengan kehancuran.

Ayat ini juga mengingatkan kita akan pentingnya integritas. Integritas berarti keselarasan antara perkataan dan perbuatan, serta konsistensi moral dalam segala situasi. Bagi seorang pengikut Tuhan, sumber rezeki haruslah bersih. Prinsip keadilan, kejujuran, dan kasih kepada sesama harus menjadi landasan dalam setiap transaksi ekonomi. Kekayaan yang sejati bukanlah semata-mata jumlah materi yang dimiliki, melainkan kekayaan yang diberkati, yang diperoleh dengan cara yang benar, dan yang dapat digunakan untuk kemuliaan Tuhan serta untuk kebaikan sesama.

Menjawab pertanyaan Mikha secara tersirat, jawabannya adalah tidak. Harta yang didapat dengan aniaya tidak dapat benar-benar dianggap sebagai kekayaan yang layak untuk dinikmati dalam jangka panjang. Ia adalah ilusi kemakmuran yang akan terkikis oleh ketidakadilan dan hukuman ilahi. Maka, marilah kita senantiasa memeriksa cara kita mencari nafkah, memastikan bahwa setiap usaha kita dijalankan dengan jujur dan adil, sehingga rezeki yang kita terima benar-benar menjadi berkat, bukan kutukan.