"Engkau akan menabur, tetapi tidak akan menuai; engkau akan menginjak buah zaitun, tetapi tidak akan meminyaki diri; engkau akan menginjak buah anggur, tetapi tidak akan minum anggur."
Ayat Mikha 6:15, meskipun terdengar seperti ancaman atau kutukan, sebenarnya merupakan bagian dari pesan yang lebih besar mengenai pentingnya keadilan, kasih sayang, dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Dalam konteksnya, ayat ini menggambarkan konsekuensi dari hidup yang jauh dari kebenaran Tuhan. Bangsa Israel sering kali mengalami kesulitan dan kegagalan bukan karena Tuhan tidak peduli, tetapi karena mereka mengabaikan tuntunan-Nya, memilih jalan yang menyimpang dari kehendak-Nya.
Namun, yang lebih penting lagi dari gambaran konsekuensi ini adalah pesan harapan yang mendahuluinya. Dalam ayat-ayat sebelumnya (Mikha 6:6-8), Nabi Mikha menyampaikan pertanyaan retoris yang menggugah hati: "Dengan apakah aku datang menghadap TUHAN dan membungkuk di hadapan Allah yang Mahatinggi? Apakah aku datang menghadap Dia dengan kurban bakaran, dengan anak lembu berumur setahun? ... Ia telah memberitahukan kepadamu, wahai manusia, apakah yang baik dan apakah yang dituntut TUHAN daripadamu: yaitu melakukan keadilan, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu."
Pesan ini adalah inti dari kebenaran ilahi. Tuhan tidak mencari ritual semata, tetapi hati yang tulus dan tindakan yang mencerminkan kasih-Nya. Ketika kita hidup dalam keadilan, mengasihi kesetiaan, dan berjalan dengan rendah hati di hadapan-Nya, maka kita akan mengalami buah dari ketaatan. Kehidupan yang diberkati, panen yang melimpah, dan sukacita yang sejati akan menjadi bagian dari perjalanan kita. Mikha 6:15 mengingatkan kita bahwa ketidaktaatan akan membawa pada kesia-siaan, seperti menabur tetapi tidak menuai. Ini adalah pengingat yang kuat untuk selalu menempatkan Tuhan dan prinsip-prinsip-Nya sebagai prioritas utama dalam hidup kita.
Menariknya, ketika kita membandingkan Mikha 6:15 dengan ajaran Yesus Kristus, kita menemukan penegasan yang serupa. Yesus sering mengajarkan tentang buah Roh yang dihasilkan oleh iman yang benar (Galatia 5:22-23). Ketika hati kita dipenuhi oleh kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri, maka kehidupan kita akan berbuah manis.
Oleh karena itu, Mikha 6:15 bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah titik refleksi. Ia mendorong kita untuk memeriksa hati dan tindakan kita. Apakah kita sedang hidup dalam ketaatan yang menghasilkan buah, ataukah kita sedang mengalami kesia-siaan karena menjauh dari kehendak Tuhan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan kualitas kehidupan rohani kita. Dengan memahami konteks yang lebih luas dari kitab Mikha dan ajaran Kristus, kita dapat melihat bahwa janji-Nya adalah untuk mereka yang berpegang teguh pada prinsip keadilan, kasih sayang, dan kerendahan hati. Inilah kabar baik yang menyejukkan hati, janji kehidupan yang penuh makna dan berkat yang sejati.