"Ada yang berkata: 'Kita, anak-anak kita, dan orang tua kita, terpaksa meminjam uang dengan gadaian untuk membeli gandum karena kelaparan.'"
Kitab Nehemia menceritakan kisah luar biasa tentang pembangunan kembali tembok Yerusalem di bawah kepemimpinan Nehemia. Ini adalah periode penuh tantangan, bukan hanya dari musuh-musuh luar yang berusaha menghentikan pekerjaan, tetapi juga dari masalah internal di antara umat Israel sendiri. Ayat Nehemia 5:2 menyoroti salah satu krisis sosial yang mendalam yang dihadapi oleh orang-orang yang baru saja kembali dari pembuangan Babel. Di tengah upaya untuk memulihkan kota dan kehidupan mereka, mereka malah menghadapi eksploitasi yang mengerikan oleh sesama mereka sendiri.
Perjuangan yang digambarkan dalam ayat ini adalah tentang kebutuhan dasar: makanan. Kelaparan bukanlah masalah yang kecil; itu adalah ancaman langsung terhadap kelangsungan hidup. Dalam situasi seperti itu, keputusasaan seringkali mendorong orang untuk mengambil langkah-langkah ekstrem. Frasa "terpaksa meminjam uang dengan gadaian" menunjukkan bahwa orang-orang tidak meminjam untuk kebutuhan sekunder, tetapi untuk bertahan hidup. Gadaian di sini bisa merujuk pada aset berharga, bahkan anak-anak mereka, yang bisa saja diambil sebagai jaminan atau bahkan diperbudak jika utang tidak dapat dibayar.
Konteks ayat ini sangat penting. Pembangunan tembok Yerusalem seharusnya menjadi simbol pemulihan, persatuan, dan kekuatan umat Allah. Namun, realitas yang diungkapkan oleh Nehemia 5:2 menunjukkan bahwa pembangunan fisik tidak otomatis berarti pemulihan sosial. Ada jurang pemisah yang lebar antara kemajuan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Keluhan ini menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi yang parah. Sementara beberapa orang mungkin memiliki kelebihan atau kemampuan untuk mengeksploitasi, yang lain jatuh ke dalam jurang kemiskinan dan ketidakberdayaan. Tindakan meminjam dengan gadaian, apalagi untuk kebutuhan pokok seperti makanan, adalah tanda kerentanan yang ekstrem. Ini adalah situasi di mana mereka yang kaya atau berkuasa seharusnya menunjukkan belas kasih dan keadilan, bukan malah memanfaatkan kesulitan orang lain.
Nehemia, setelah mendengar keluhan ini, bereaksi dengan kemarahan yang benar. Ini bukan kemarahan semata-mata untuk dirinya sendiri, tetapi kemarahan yang lahir dari rasa keadilan dan kepedulian terhadap umat Allah. Ia segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah ini, menyerukan agar para pemimpin dan orang kaya mengembalikan tanah dan harta benda yang mereka sita atau kuasai secara tidak adil.
Pelajaran dari Nehemia 5:2 jauh melampaui konteks sejarahnya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa pertumbuhan dan kemajuan, baik secara pribadi, komunal, maupun spiritual, harus selalu disertai dengan kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang rentan. Ketidakadilan, terutama dalam bentuk eksploitasi terhadap yang lemah, adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ilahi. Kisah ini mendorong kita untuk memeriksa kondisi sosial di sekitar kita dan bertindak dengan keberanian dan kasih untuk memulihkan keadilan di mana pun ia hilang.