"Tetapi mereka, nenek moyang kami, menjadi congkak dan kepala batu, dan tidak mau mendengarkan perintah-perintah-Mu."
Ayat Nehemia 9:16 adalah pengakuan yang dalam dari bangsa Israel saat berkumpul untuk melakukan ibadah dan pertobatan. Dalam momen yang penuh dengan kerendahan hati dan kesadaran diri ini, mereka merenungkan kembali sejarah mereka bersama Allah. Ayat ini secara khusus menyoroti salah satu aspek tergelap dari perjalanan iman mereka: ketidaktaatan dan kesombongan nenek moyang mereka.
Kisah dalam Kitab Nehemia ini menceritakan sebuah peristiwa penting setelah bangsa Israel kembali dari pembuangan di Babel. Ezra, seorang juru tulis dan imam, memimpin umat untuk membaca hukum Taurat dan mengajarkan firman Tuhan. Tanggapan umat terhadap firman Allah adalah tangisan, ratapan, dan pengakuan dosa yang tulus. Di tengah-tengah pengakuan dosa kolektif inilah, mereka secara eksplisit menyebutkan kelemahan dan kesalahan generasi-generasi sebelumnya.
Perkataan "menjadi congkak dan kepala batu" menggambarkan sebuah sikap hati yang menolak untuk tunduk pada kehendak Allah. Kesombongan adalah akar dari banyak dosa, dan hati yang keras seperti batu tidak mau dibentuk oleh kebenaran ilahi. Akibatnya, mereka "tidak mau mendengarkan perintah-perintah-Mu." Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan sebuah penolakan aktif terhadap petunjuk dan ajaran yang diberikan oleh Tuhan melalui para nabi-Nya. Mereka memilih jalan mereka sendiri, yang pada akhirnya membawa mereka pada kesulitan dan hukuman ilahi.
Nehemia 9:16 mengingatkan kita akan bahaya kesombongan dalam kehidupan rohani. Kesombongan dapat membuat kita merasa lebih tahu dari Tuhan, menolak untuk belajar, dan mengabaikan nasihat serta bimbingan-Nya. Ketika kita menjadi "kepala batu," kita menutup diri dari pertumbuhan dan pembaruan yang selalu ingin Tuhan lakukan dalam diri kita. Perintah-perintah-Nya bukanlah beban, melainkan peta jalan menuju kehidupan yang penuh berkat dan keintiman dengan-Nya.
Pengakuan dosa oleh bangsa Israel dalam ayat ini juga merupakan sebuah bentuk pemulihan. Dengan mengakui kesalahan nenek moyang mereka, mereka tidak hanya melepaskan diri dari beban masa lalu, tetapi juga menunjukkan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Mereka menyadari bahwa ketaatan adalah kunci utama dalam memelihara hubungan yang benar dengan Tuhan dan menikmati janji-janji-Nya.
Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan sikap hati kita sendiri. Apakah kita cenderung menjadi sombong dan keras kepala ketika dihadapkan pada firman Tuhan? Apakah kita cepat-cepat mendengarkan dan mematuhi, ataukah kita menolak dan mencari alasan untuk tidak melakukannya? Ketaatan bukanlah hukuman, melainkan sebuah respons cinta kepada Allah yang telah memberikan segalanya bagi kita.
Pada akhirnya, Nehemia 9:16 adalah seruan untuk kerendahan hati dan kesediaan untuk terus belajar serta bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan. Dengan menolak kesombongan dan mengutamakan pendengaran akan perintah-Nya, kita membuka diri bagi karya Roh Kudus yang akan membentuk kita menjadi pribadi yang berkenan di hadapan-Nya.