"Apa yang telah terjadi akan terjadi lagi, dan apa yang telah dibuat akan dibuat lagi; sesungguhnya, tidak ada hal baru di bawah matahari."
Ayat emas dari Kitab Pengkhotbah, "Apa yang telah terjadi akan terjadi lagi, dan apa yang telah dibuat akan dibuat lagi; sesungguhnya, tidak ada hal baru di bawah matahari," adalah sebuah renungan mendalam mengenai siklus kehidupan dan pengalaman manusia. Sang Pengkhotbah, dengan kebijaksanaan yang luar biasa, mengajak kita untuk melihat realitas kehidupan bukan sebagai serangkaian peristiwa yang sepenuhnya orisinal, tetapi sebagai pola yang berulang, sebuah tarian abadi antara generasi dan generasi yang datang setelahnya. Pernyataan ini bukan dimaksudkan untuk menumbuhkan keputusasaan atau apatisme, melainkan untuk memberikan perspektif yang lebih luas tentang keberadaan kita.
Dalam konteks sejarah manusia, kita sering kali menyaksikan pola yang sama terulang. Perjuangan untuk kekuasaan, siklus kemakmuran dan kehancuran, serta upaya manusia untuk menemukan makna terus menerus membentuk narasi peradaban. Ide-ide baru mungkin muncul dalam bentuk yang berbeda, teknologi mungkin berkembang pesat, tetapi motivasi dasar manusia—cinta, benci, keserakahan, keinginan untuk diakui, ketakutan akan kematian—tetaplah konstan. Pengalaman yang dialami oleh leluhur kita dalam menghadapi tantangan hidup, kebingungan, dan pencarian kebahagiaan, sebagian besar tidak jauh berbeda dengan apa yang kita rasakan hari ini. Ada rasa kekekalan dalam siklus ini yang dapat memberikan hiburan sekaligus peringatan.
Namun, penting untuk tidak terjebak dalam pandangan yang fatalistik. Meskipun pola berulang, setiap individu dan setiap generasi memiliki kebebasan untuk merespons pola tersebut dengan cara yang berbeda. Alih-alih mencari "hal baru" yang mungkin ilusi, kita dapat menemukan kedalaman makna dalam pemahaman dan penghayatan terhadap apa yang telah ada. Mempelajari sejarah, menghargai kebijaksanaan para pendahulu, dan menerapkan pelajaran dari masa lalu dalam menghadapi masa kini adalah inti dari pemahaman ayat ini. Ini adalah undangan untuk menjadi bijak, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan untuk membangun di atas fondasi yang telah diletakkan.
Sang Pengkhotbah juga menyoroti sifat sementara dan seringkali sia-sia dari pencarian manusia akan kepuasan yang bersifat duniawi. Ketika kita terus-menerus mengejar kesenangan sesaat, harta benda, atau pengakuan, kita mungkin menemukan bahwa apa yang kita peroleh hanya memberikan kepuasan sementara sebelum siklus pencarian baru dimulai. Kehampaan ini terasa lebih nyata ketika kita menyadari bahwa semua pencapaian dan kekayaan duniawi pada akhirnya akan ditinggalkan. Pemahaman ini mendorong kita untuk mengarahkan fokus kita pada sesuatu yang lebih abadi, sesuatu yang melampaui siklus duniawi ini, yaitu hubungan yang bermakna dengan Sang Pencipta dan pelayanan kepada sesama.
Oleh karena itu, Pengkhotbah 1:10 bukan sekadar pernyataan tentang monotonnya kehidupan, tetapi sebuah panggilan untuk refleksi yang lebih dalam. Ini adalah undangan untuk melihat melampaui permukaan, untuk memahami pola yang mendasari pengalaman manusia, dan untuk mencari makna yang sejati yang tidak lekang oleh waktu. Dengan menerima kenyataan siklus dan kehampaan, kita dapat mengarahkan energi kita untuk membangun warisan yang lebih berarti, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang, yang pada akhirnya akan menghadapi tantangan dan peluang yang sama di bawah matahari.