"Orang banyak berjalan bersama-sama dengan dia yang hidup, tetapi siapakah yang akan menjadi ahli waris orang mati?"
Ayat Pengkhotbah 4:15 menyajikan sebuah pengamatan yang mendalam tentang sifat kehidupan dan persekutuan. Frasa "Orang banyak berjalan bersama-sama dengan dia yang hidup" menggambarkan realitas sosial yang sering kita saksikan. Saat seseorang memiliki kehidupan, energi, pengaruh, atau kesuksesan, seringkali ia dikelilingi oleh banyak orang. Mereka mungkin adalah teman, pengagum, kolega, atau bahkan sekadar penonton yang tertarik pada dinamika kehidupan tersebut.
Fenomena ini mencerminkan keinginan alami manusia untuk terhubung dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Kita melihatnya dalam berbagai aspek kehidupan: seorang pemimpin yang berkarisma, seorang seniman yang karyanya dihargai, seorang atlet yang berprestasi, atau bahkan seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Kehidupan yang dinamis dan aktif menarik perhatian dan keterlibatan orang lain. Ada daya tarik dalam kekuatan, vitalitas, dan kemakmuran.
Namun, ayat ini tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan dengan pertanyaan retoris yang menusuk: "tetapi siapakah yang akan menjadi ahli waris orang mati?". Pertanyaan ini mengajak kita untuk merenungkan sebaliknya. Apa yang terjadi ketika kehidupan itu memudar? Apa yang tersisa ketika energi surut, pengaruh meredup, atau kekayaan tak lagi dapat dinikmati? Dalam banyak kasus, ketika seseorang sudah tidak lagi "hidup" dalam artian yang dinamis, orang-orang yang tadinya mengitarinya seringkali menghilang.
Ini bukan hanya tentang kematian fisik, tetapi juga tentang penurunan kemampuan, kehilangan kekuasaan, atau bahkan kegagalan. Di saat-saat seperti itu, jumlah orang yang rela "berjalan bersama" seringkali menyusut drastis. Kesetiaan, dukungan, dan perhatian yang melimpah di masa kejayaan bisa saja sirna begitu saja. Pertanyaan ini mengingatkan kita bahwa popularitas, pengaruh, dan bahkan hubungan yang dangkal seringkali bergantung pada kondisi dan status seseorang, bukan pada substansi terdalam dari dirinya.
Makna spiritual dari ayat ini sangat kuat. Ia mendorong kita untuk mencari nilai yang lebih kekal daripada sekadar kekaguman atau dukungan yang bersifat sementara. Kita diajak untuk membangun hubungan yang didasarkan pada kasih yang tulus, kesetiaan yang tak tergoyahkan, dan nilai-nilai rohani yang tidak lekang oleh waktu. Dalam konteks iman, ini berarti mencari persekutuan yang sejati dengan Tuhan dan dengan sesama orang percaya, di mana kita saling mendukung dalam segala keadaan, baik suka maupun duka.
Pengkhotbah 4:15 adalah pengingat yang bijak untuk tidak terlalu terpaku pada popularitas atau pengakuan duniawi. Sebaliknya, kita didorong untuk berinvestasi pada hubungan yang lebih dalam dan bermakna, yang akan tetap ada bahkan ketika badai kehidupan menerpa. Kebersamaan yang sejati, yang dibangun di atas dasar yang kokoh, adalah harta yang tak ternilai, yang melampaui segala sesuatu yang bersifat fana.