Pengkhotbah 6:1 - Kekayaan yang Tak Menyenangkan Hati

"Ada suatu malapetaka yang kulihat di bawah matahari, dan itu sangat berat menimpa manusia:"
A B C Ketidakpuasan yang Tersembunyi
Ilustrasi sederhana dari keberuntungan yang tidak memberikan kepuasan.

Kitab Pengkhotbah adalah sebuah renungan mendalam tentang makna kehidupan, kefanaan segala sesuatu di bawah matahari, dan pencarian kebahagiaan sejati. Pada ayat pertama dari pasal keenam, kita diperkenalkan dengan sebuah "malapetaka" yang sangat umum terjadi di dunia ini, yaitu tentang orang yang diberi kekayaan, harta benda, dan kemuliaan, tetapi tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya. Pengkhotbah menyajikan sebuah paradoks yang menyakitkan: seseorang bisa memiliki segalanya, namun jiwanya tetap kosong, dan kebahagiaan tidak pernah menyentuh hatinya.

Ayat ini menggugah kita untuk bertanya: apa gunanya memiliki kekayaan yang melimpah jika kita tidak bisa menikmatinya? Pengkhotbah bukanlah anti-kekayaan, melainkan seorang realis yang melihat bagaimana kekayaan itu sendiri tidak secara otomatis membawa kepuasan atau kebahagiaan. Seringkali, ketika seseorang terobsesi dengan akumulasi harta, ia kehilangan kemampuan untuk menikmati hal-hal sederhana dalam hidup. Waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk bersantai, berkumpul dengan orang terkasih, atau merenungkan makna hidup, malah habis untuk mengejar lebih banyak lagi.

Bisa jadi malapetaka ini terwujud dalam berbagai bentuk. Mungkin seseorang terlalu sibuk bekerja sehingga tidak punya waktu untuk menikmati apa yang telah ia peroleh. Atau, mungkin ia diliputi ketakutan terus-menerus akan kehilangan harta bendanya, sehingga kegelisahan itu merampas kedamaian dalam dirinya. Ada juga kemungkinan bahwa ia tidak memiliki kesehatan yang baik untuk menikmati kekayaannya, atau ia memiliki orang-orang di sekitarnya yang hanya menginginkan hartanya, bukan dirinya sendiri. Ketika pencarian kekayaan menjadi satu-satunya tujuan hidup, ia bisa menjadi belenggu alih-alih berkat.

Lebih jauh lagi, ayat ini mengingatkan kita bahwa kepuasan sejati tidak terletak pada kepemilikan materi semata. Jiwa manusia memiliki kebutuhan yang lebih dalam, kebutuhan akan makna, tujuan, cinta, dan kedamaian. Kekayaan, jika tidak diarahkan dengan bijak, bisa menjadi penghalang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pengkhotbah menyindir bahwa lebih baik menjadi orang miskin yang hidup dalam ketentraman dan kepuasan, daripada menjadi orang kaya yang hidup dalam kecemasan dan ketidakpuasan.

Renungan dari Pengkhotbah 6:1 ini mengajak kita untuk merefleksikan prioritas hidup kita. Apakah kita mengejar kekayaan demi kepuasan yang semu, ataukah kita menggunakan berkat materi untuk tujuan yang lebih mulia, seperti melayani orang lain, mengembangkan diri, dan menemukan makna yang lebih dalam dalam perjalanan hidup ini? Kebahagiaan sejati seringkali ditemukan bukan dalam jumlah harta yang kita miliki, tetapi dalam cara kita menjalaninya dan bagaimana kita dapat menikmati setiap momen, terlepas dari kelimpahan materi.

Merenungkan ayat ini, kita diingatkan bahwa anugerah terbesar adalah kemampuan untuk merasakan sukacita, kedamaian, dan syukur atas apa yang kita miliki, sekecil apapun itu. Pengkhotbah mendorong kita untuk mencari kekayaan jiwa yang tak lekang oleh waktu, kekayaan yang memberikan kepuasan sejati dan makna mendalam bagi eksistensi kita.