Kebahagiaan Sejati

Pengkhotbah 6:3 - Hidup Kaya Tak Selalu Bahagia

"Sekalipun orang beranak seratus banyaknya, dan lanjut umurnya, sehingga hari-harinya berbilang-bilang, tetapi jika ia tidak pernah puas akan kesenangan hidupnya dan jika kuburan pun tidak menerimanya, maka kukatakan: Lebih baik seorang anak gugur daripada orang itu."

Ayat Pengkhotbah 6:3 ini menyajikan sebuah refleksi mendalam tentang makna kekayaan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Seringkali, kita mengasosiasikan kekayaan materi dengan kebahagiaan, kemapanan, dan keberhasilan. Namun, Kitab Pengkhotbah mengingatkan kita bahwa kekayaan semata tidak menjamin kepuasan atau kebahagiaan sejati. Ayat ini menggambarkan seseorang yang memiliki segalanya—umur panjang, keturunan yang banyak, dan potensi untuk menikmati kekayaan yang melimpah—namun tetap tidak merasakan kepuasan.

Konsep "tidak pernah puas akan kesenangan hidupnya" menjadi inti dari perenungan ini. Ini berbicara tentang kekosongan batin yang tidak dapat diisi oleh harta benda atau pencapaian duniawi. Seseorang bisa saja dikelilingi oleh kemewahan, tetapi jika hatinya tidak pernah merasa cukup, jika selalu ada rasa lapar akan lebih banyak lagi, maka hidupnya akan menjadi siklus pengejaran yang tak berkesudahan. Keinginan yang tak terpuaskan ini bisa mengarah pada kecemasan, keserakahan, dan bahkan kesedihan yang mendalam.

Lebih lanjut, ayat ini menambahkan sebuah perbandingan yang cukup dramatis: "dan jika kuburan pun tidak menerimanya." Pernyataan ini mungkin merujuk pada ketidakbermaknaan hidup orang tersebut, bahkan hingga kematian sekalipun. Ia hidup tanpa kepuasan, dan kematiannya pun tidak membawa kedamaian atau penyelesaian yang berarti. Perbandingan ini menekankan betapa menyedihkannya nasib seseorang yang hidupnya dipenuhi dengan kesibukan duniawi tetapi hampa secara spiritual dan emosional.

Kontras yang disajikan dalam ayat ini sangat tajam. Sang Pengkhotbah menyatakan, "Lebih baik seorang anak gugur daripada orang itu." Perbandingan ini mungkin terdengar keras, tetapi tujuannya adalah untuk menyoroti betapa mengerikannya kehidupan yang tanpa kepuasan. Seorang anak yang gugur, meskipun tragis, mungkin dilihat sebagai kematian yang lebih "murni" atau lebih baik daripada kehidupan yang panjang namun penuh dengan kekosongan dan ketidakpuasan. Ini bukan tentang meremehkan nilai kehidupan, melainkan tentang menekankan betapa pentingnya menemukan kepuasan batin dan makna dalam hidup.

Dalam konteks modern, ayat ini mengajak kita untuk merefleksikan prioritas kita. Apakah kita terlalu sibuk mengejar kekayaan dan pencapaian duniawi hingga lupa mencari kepuasan yang sesungguhnya? Kepuasan sejati seringkali tidak terletak pada jumlah harta yang kita miliki, tetapi pada kemampuan kita untuk bersyukur, menikmati apa yang ada, dan menemukan makna dalam hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Hidup yang kaya akan kepuasan batin, sekalipun mungkin sederhana, jauh lebih berharga daripada kekayaan yang melimpah namun hampa. Ayat Pengkhotbah 6:3 adalah pengingat abadi bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan akhir yang bisa dibeli, melainkan sebuah kondisi hati yang harus dipupuk.