Ayat dari Pengkhotbah pasal 6 ayat 11 ini adalah sebuah renungan mendalam tentang kondisi manusia dan pencarian makna hidup. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh dengan tuntutan, seringkali kita tenggelam dalam kesibukan yang tak berujung. Kita mengejar pencapaian demi pencapaian, mengumpulkan harta benda, dan terus-menerus disibukkan oleh berbagai macam "perkara" yang dijanjikan akan membawa kebahagiaan atau kepuasan. Namun, pada akhirnya, kita dihadapkan pada pertanyaan eksistensial: apa untungnya semua ini jika pada akhirnya hanya menimbulkan kelelahan dan kehampaan?
Memahami Konteks Kesia-siaan
Kitab Pengkhotbah, yang seringkali diasosiasikan dengan hikmat dan refleksi tentang kehidupan di bawah matahari, berulang kali menyoroti konsep "kesia-siaan" atau "vanity". Ini bukanlah sekadar ketidakberuntungan, melainkan sebuah pengakuan bahwa banyak usaha dan ambisi manusia, jika dilihat dari perspektif kekal, tidak memiliki substansi yang langgeng. Penulis Pengkhotbah mengamati bahwa kekayaan, kekuasaan, kenikmatan duniawi, bahkan hikmat itu sendiri, jika tidak diarahkan dengan benar, dapat menjadi sumber frustrasi dan kekecewaan.
Beban "Banyaknya Perkara"
Ungkapan "banyaknya perkara" mengacu pada beban yang kita pikul dari berbagai aktivitas, kekhawatiran, rencana, dan keinginan. Di era modern ini, tekanan untuk terus produktif, terkoneksi, dan selalu "terlihat baik" bisa sangat besar. Media sosial memperburuk keadaan dengan menampilkan gambaran kehidupan yang seringkali tidak realistis, mendorong perbandingan sosial dan keinginan yang tak terpuaskan. Kita mungkin merasa perlu memiliki ini itu, melakukan ini itu, dan menjadi ini itu, padahal semua itu hanya menambah lapisan kerumitan dalam hidup.
Pertanyaan Fundamental: Apa Untungnya?
Pertanyaan "apa untungnya bagi manusia?" adalah inti dari ayat ini. Ini adalah panggilan untuk menghentikan sejenak hiruk pikuk kehidupan dan bertanya pada diri sendiri: apa yang benar-benar penting? Apakah segala usaha dan kesibukan kita saat ini mengarah pada tujuan yang lebih besar, pada kepuasan yang sejati, atau hanya sekadar membuang-buang waktu dan energi? Ayat ini mengajak kita untuk mempertimbangkan nilai dari apa yang kita kejar. Apakah itu sesuatu yang bersifat sementara dan fana, atau sesuatu yang memiliki makna abadi?
Mencari Makna di Balik Kesibukan
Pengkhotbah tidak mengajak kita untuk menjadi pasif atau apatis. Sebaliknya, ia mendorong kita untuk bijak dalam memanfaatkan waktu dan sumber daya yang kita miliki. Ia mengajak kita untuk mencari hikmat yang berasal dari Tuhan, yang dapat membimbing kita untuk membedakan antara apa yang bernilai dan apa yang hanya menjadi beban kesia-siaan. Memahami kelemahan dan keterbatasan manusia, serta menyadari hakikat kehidupan yang sementara, dapat membantu kita untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar berarti, seperti kasih, kebaikan, dan hubungan yang mendalam dengan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, kita dapat menemukan kepuasan sejati yang tidak bergantung pada banyaknya perkara yang kita miliki atau lakukan.