"Orang yang hidup bertahun-tahun lamanya, bahkan seribu tahun dua kali, tetapi tidak mengalami kesenangan, bukankah semuanya pergi ke tempat yang sama?"
Ayat Pengkhotbah 6:6 menyajikan sebuah refleksi mendalam tentang nilai hidup yang seringkali terabaikan. Dalam pencarian duniawi, manusia kerap berfokus pada akumulasi kekayaan, kekuasaan, dan umur panjang. Namun, Salomo, sang penulis Pengkhotbah, mengingatkan kita bahwa kuantitas hidup dan materi tidak menjamin kualitasnya. Ayat ini secara gamblang menyatakan bahwa seseorang yang hidup sangat lama, bahkan mencapai ribuan tahun, namun tidak pernah merasakan kebahagiaan atau kesenangan sejati, pada akhirnya akan menuju tempat yang sama dengan orang lain. Kata "kesenangan" dalam terjemahan ini merujuk pada kepuasan batin, sukacita, dan kenikmatan hidup yang tulus. Ini bukanlah kesenangan sesaat yang didapat dari pemuasan nafsu belaka, melainkan kedamaian hati dan kebahagiaan yang berasal dari hubungan yang bermakna, pencapaian yang berarti, dan rasa syukur. Banyak orang di zaman modern ini yang tenggelam dalam hiruk pikuk pekerjaan, mengejar materi hingga lupa akan esensi kebahagiaan. Mereka mungkin memiliki segala hal yang diimpikan oleh orang lain: rumah mewah, kendaraan mahal, jabatan tinggi, dan rekening bank yang gemuk. Namun, di balik kemewahan itu, seringkali tersembunyi kekosongan hati, kecemasan yang tak berujung, dan kelelahan jiwa. Konsep "tempat yang sama" mengacu pada kematian, kesudahan akhir dari setiap kehidupan. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa harta benda, status sosial, atau bahkan umur panjang yang luar biasa, tidak memiliki kekuatan untuk membebaskan kita dari takdir akhir seluruh umat manusia. Jika kehidupan itu sendiri tidak diwarnai dengan kebahagiaan dan makna, maka panjangnya usia menjadi tidak berarti. Ibarat sebuah perjalanan panjang yang tidak pernah dinikmati pemandangannya, hanya akan menjadi sebuah rutinitas yang melelahkan. Ayat ini mengajak kita untuk menggeser prioritas. Bukan berarti menolak pencapaian materi atau hidup berkecukupan, tetapi lebih kepada bagaimana kita memaknai proses pencapaian tersebut. Apakah kita berhasil menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi? Apakah kita meluangkan waktu untuk orang-orang terkasih, untuk menikmati hal-hal sederhana, dan untuk mensyukuri setiap berkat yang ada? Kebahagiaan sejati seringkali ditemukan dalam hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kualitas hubungan, kesehatan mental dan fisik, serta kemampuan untuk menikmati momen saat ini adalah fondasi kebahagiaan yang hakiki. Renungan dari Pengkhotbah 6:6 ini menjadi pengingat yang sangat relevan di tengah masyarakat yang semakin materialistis. Marilah kita berusaha untuk hidup dengan penuh makna, mencari sukacita dalam hal-hal yang benar-benar berarti, dan menyadari bahwa kekayaan terbesar bukanlah apa yang kita miliki, melainkan bagaimana kita merasakan dan menikmati setiap detik kehidupan yang dianugerahkan. Jangan sampai kita hidup beribu-ribu tahun namun berakhir dengan penyesalan karena tidak pernah benar-benar hidup dan bahagia.