"Adalah baik bahwa engkau berpegang pada yang satu, tetapi jangan melepaskan yang lain dari tanganmu; karena orang yang takut akan Allah luput dari semuanya itu."
Kitab Pengkhotbah, yang seringkali dianggap sebagai refleksi mendalam tentang makna kehidupan, menyajikan berbagai macam pengamatan dan nasihat bijak. Salah satu permata kebijaksanaannya tertulis dalam pasal 7, ayat 18: "Adalah baik bahwa engkau berpegang pada yang satu, tetapi jangan melepaskan yang lain dari tanganmu; karena orang yang takut akan Allah luput dari semuanya itu." Ayat ini menawarkan sebuah perspektif yang menarik mengenai pentingnya keseimbangan dalam menjalani hidup.
Pada pandangan pertama, ayat ini mungkin tampak paradoks. Bagaimana mungkin seseorang bisa berpegang pada satu hal namun tidak melepaskan yang lain? Inti dari ajaran ini terletak pada konsep keseimbangan yang dinamis. Ini bukan tentang memilih satu jalan dan mengabaikan segalanya, atau mengacaukan segalanya sehingga tidak ada yang benar-benar dipegang. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk hidup yang terintegrasi, di mana berbagai aspek kehidupan dapat dihormati dan dikelola secara bersamaan.
Pernyataan "berpegang pada yang satu" dapat diinterpretasikan sebagai fokus yang kuat pada tujuan utama, nilai-nilai fundamental, atau tanggung jawab penting. Dalam konteks spiritual, ini bisa berarti berpegang teguh pada iman, kebenaran, atau perintah Allah. Ini membutuhkan dedikasi, ketekunan, dan komitmen yang tidak goyah. Tanpa pegangan yang kuat pada hal yang paling penting ini, seseorang bisa mudah tersesat dalam pusaran kehidupan yang kompleks.
Namun, ayat ini segera menambahkan, "tetapi jangan melepaskan yang lain dari tanganmu." Ini adalah peringatan agar tidak menjadi terlalu kaku atau eksklusif dalam fokus kita. Kehidupan terdiri dari berbagai elemen: keluarga, pekerjaan, hubungan sosial, kesehatan, dan pertumbuhan pribadi. Mengabaikan salah satu dari ini demi yang lain dapat menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan. Sebagai contoh, terlalu fokus pada karier hingga mengabaikan keluarga akan membawa penyesalan di kemudian hari. Sebaliknya, hanya berfokus pada kesenangan sesaat tanpa memikirkan dampak jangka panjang juga tidak bijak.
Bagaimana kita bisa mencapai keseimbangan ini? Ayat ini memberikan kunci terakhir yang sangat penting: "karena orang yang takut akan Allah luput dari semuanya itu." Rasa takut akan Allah, dalam pengertian biblikal, bukanlah ketakutan yang melumpuhkan, melainkan rasa hormat yang mendalam, kekaguman, dan kesadaran akan kehadiran dan kehendak-Nya. Orang yang hidup dengan kesadaran akan Allah akan memiliki hikmat untuk memahami prioritas, keberanian untuk membuat pilihan yang benar, dan kemampuan untuk mengelola berbagai aspek kehidupan dengan cara yang berkenan kepada-Nya.
Rasa takut akan Allah memberikan perspektif ilahi yang membantu kita melihat nilai sejati dari setiap hal. Ini membantu kita membedakan antara apa yang sementara dan apa yang abadi, antara apa yang penting dan apa yang hanya gangguan. Dengan bimbingan ilahi, kita dapat belajar untuk memegang erat nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, sambil tetap mengelola tanggung jawab duniawi dengan bijaksana.
Jadi, Pengkhotbah 7:18 mengajak kita untuk memandang hidup sebagai sebuah seni keseimbangan. Ini adalah undangan untuk hidup dengan tujuan yang jelas, tanpa mengabaikan kekayaan dan kompleksitas pengalaman manusia. Dengan menjadikan rasa takut akan Allah sebagai jangkar, kita dapat menavigasi tantangan hidup dengan kebijaksanaan, menemukan kedamaian dalam keteraturan, dan pada akhirnya, luput dari jebakan ketidakseimbangan yang seringkali membawa kehancuran.