Ayat Yosua 22:10 memuat sebuah momen penting dalam sejarah bangsa Israel setelah mereka berhasil menaklukkan tanah perjanjian. Ayat ini menjadi penutup dari sebuah kisah yang menegangkan dan penuh potensi konflik, namun berakhir dengan pemahaman dan rekonsiliasi. Ketika suku Ruben, Gad, dan setengah suku Manasye membangun sebuah altar besar di tepi Sungai Yordan, suku-suku lain menafsirkannya sebagai tanda pemberontakan dan penyembahan berhala. Kekhawatiran ini memicu reaksi keras, nyaris mengarah pada perang saudara.
Namun, sebelum pertumpahan darah terjadi, para pemimpin mereka memutuskan untuk mengirim delegasi yang dipimpin oleh Pinehas, seorang imam yang dihormati. Mereka mendatangi suku-suku di seberang Yordan untuk mencari penjelasan. Di sinilah kita menemukan hikmah dari Yosua 22:10. Setelah mendengar penjelasan bahwa altar tersebut dibangun bukan untuk tujuan mempersembahkan kurban, melainkan sebagai "altar kesaksian" – pengingat bahwa mereka semua adalah satu umat Tuhan, satu bangsa yang dipersatukan oleh perjanjian dengan Allah – ketegangan mereda.
Perkataan Yosua 22:10 mencerminkan persetujuan dan kelegaan yang dirasakan oleh para pemimpin suku-suku yang lain. Mereka mengakui bahwa niat yang sebenarnya adalah baik, yaitu untuk menjaga ikatan persaudaraan dan identitas bersama di hadapan Tuhan. "Oleh sebab itu, sekarang pulanglah kamu ke kemahmu dengan sukacita dan hati yang gembira, oleh karena segala yang baik yang telah dilakukan TUHAN Allahmu atasmu." Kata-kata ini bukan sekadar ucapan perpisahan, melainkan sebuah pengakuan atas berkat-berkat Tuhan yang telah mereka alami bersama. Ini adalah pengakuan bahwa persatuan mereka dibangun di atas fondasi kebaikan Tuhan, bukan semata-mata kesepakatan manusia.
Kisah Yosua 22:10 mengajarkan kita tentang pentingnya komunikasi yang jujur dan saling pengertian dalam menghadapi perbedaan. Kesalahpahaman dapat dengan mudah berkembang menjadi konflik jika tidak ditangani dengan bijak. Dengan dialog terbuka, ketakutan dan kecurigaan dapat diubah menjadi kedamaian dan persatuan. Altar kesaksian tersebut, yang awalnya disalahpahami, akhirnya menjadi simbol keutuhan. Ini mengingatkan kita bahwa hubungan yang sehat, baik dalam keluarga, komunitas, maupun gereja, membutuhkan upaya sadar untuk saling memahami dan menghargai, serta selalu mengakui peran Tuhan dalam setiap kebaikan yang kita terima. Kembalinya suku-suku tersebut ke kemah mereka dengan sukacita adalah bukti nyata bahwa perselisihan yang diselesaikan dengan kasih dan kebenaran membawa pemulihan dan sukacita yang mendalam.
Lebih dari sekadar catatan sejarah, Yosua 22:10 terus beresonansi hingga kini. Ia mengingatkan kita bahwa identitas kita yang sejati sebagai umat Tuhan bukanlah tentang keseragaman pandangan, melainkan tentang kesatuan dalam kasih Kristus. Altar kesaksian yang dibangun oleh suku-suku di seberang Yordan mengingatkan kita untuk terus membangun jembatan iman yang kuat, saling terhubung satu sama lain, dan selalu mengingat segala kebaikan Tuhan yang telah dan akan terus kita alami. Dengan hati yang gembira, kita melangkah maju, dipersatukan oleh iman dan kasih anugerah-Nya.