Ayat Pengkhotbah 7:4 mengingatkan kita pada sebuah prinsip yang fundamental namun seringkali terabaikan dalam hiruk-pikuk kehidupan modern. Kalimat yang singkat ini sarat makna: "Hati orang berakal mencari pengetahuan, tetapi mulut orang bebal menggembalakan kebodohan." Perbandingan antara dua jenis hati, yang berakal dan yang bebal, menyoroti perbedaan mendasar dalam cara mereka berinteraksi dengan dunia dan menghasilkan buah dari perkataan mereka.
Pertama, mari kita fokus pada bagian pertama ayat ini: "Hati orang berakal mencari pengetahuan." Frasa "hati orang berakal" menggambarkan individu yang memiliki pemahaman mendalam, yang tidak sekadar menerima informasi secara pasif, tetapi secara aktif berusaha untuk menggali kebenaran, belajar dari pengalaman, dan memahami dunia di sekitarnya. Pencarian pengetahuan ini bukanlah sekadar akumulasi fakta, melainkan sebuah proses transformatif. Orang yang berakal menyadari bahwa kebijaksanaan adalah aset yang tak ternilai, yang membimbing mereka dalam mengambil keputusan, menyelesaikan masalah, dan menjalani hidup dengan makna. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang sehat, keterbukaan terhadap ide-ide baru, dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa masih banyak yang perlu dipelajari. Pencarian ini mendorong mereka untuk membaca, merenung, bertanya, dan mengamati.
Sebaliknya, ayat ini menyajikan kontras yang tajam dengan gambaran "mulut orang bebal menggembalakan kebodohan." Orang bebal, dalam konteks ini, adalah mereka yang kurang memiliki hikmat dan pemahaman. "Menggembalakan kebodohan" berarti bahwa perkataan mereka, baik disengaja maupun tidak, justru menyebarkan ketidakpahaman, kesalahpahaman, atau bahkan kebohongan. Mulut mereka menjadi sumber dari apa yang tidak membangun, yang membingungkan, atau yang merusak. Hal ini bisa terjadi karena ketidaktahuan, keangkuhan, atau keinginan untuk menarik perhatian tanpa dasar pengetahuan yang kuat. Perkataan mereka tidak berakar pada pemikiran yang matang, melainkan lahir dari kekosongan pemahaman.
Perbedaan antara mencari pengetahuan dan menggembalakan kebodohan terletak pada sumber dan tujuan perkataan. Orang berakal, dengan hati yang mencari pengetahuan, akan cenderung berbicara dengan bijak, memberikan masukan yang membangun, dan berbagi wawasan yang mencerahkan. Perkataan mereka adalah hasil dari perenungan dan pemahaman yang mendalam. Mereka menggunakan kata-kata untuk menjelaskan, menginspirasi, dan membimbing. Di sisi lain, orang bebal cenderung berbicara tanpa berpikir, menyebarkan gosip, membuat pernyataan yang dangkal, atau bahkan berbohong, karena tidak ada kedalaman pengetahuan yang mengontrol ucapan mereka.
Mengaplikasikan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Di era informasi yang melimpah, kita memiliki akses yang luar biasa terhadap pengetahuan. Namun, kemudahan akses ini tidak secara otomatis menjadikan kita orang yang berakal. Kita harus secara sadar memilih untuk mencari kebenaran, memverifikasi informasi, dan terus belajar. Hal ini juga berarti kita harus berhati-hati dengan apa yang kita ucapkan. Sebelum berbicara, tanyakan pada diri sendiri: apakah perkataan saya berasal dari pengetahuan yang benar? Apakah ini akan membangun atau justru merusak? Apakah ini mencerminkan kebijaksanaan atau justru kebodohan?
Ayat ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan hasil dari sebuah upaya aktif. Ia menantang kita untuk menjadi individu yang haus akan pembelajaran, yang menggunakan pikiran kita untuk menggali kebenaran, dan yang akhirnya, membuat perkataan kita menjadi sumber hikmat, bukan kebodohan. Dengan demikian, kita dapat menjadi agen perubahan yang positif dalam percakapan kita dan di dunia sekitar kita.