"Lebih baik mendengar teguran orang berhikmat dari pada mendengar nyanyian orang bodoh."
Ayat Pengkhotbah 7:5 ini menyajikan sebuah perbandingan yang kuat antara dua jenis suara yang dapat kita dengar dalam kehidupan. Di satu sisi, ada teguran orang berhikmat. Suara ini mungkin tidak selalu menyenangkan, terkadang terasa seperti kritik, atau bahkan menyakitkan hati pada awalnya. Namun, inti dari teguran tersebut adalah bimbingan, koreksi, dan pengarahan menuju jalan yang benar. Orang yang berhikmat, dalam konteks ini, adalah seseorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang kebenaran, moralitas, dan konsekuensi dari tindakan. Mereka melihat melampaui kesenangan sesaat dan berbicara demi kebaikan jangka panjang kita. Mendengar dan merenungkan teguran mereka adalah investasi dalam pertumbuhan pribadi dan rohani kita.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada nyanyian orang bodoh. "Nyanyian" di sini bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang terdengar menarik, menghibur, memuaskan ego, atau sesuai dengan keinginan nafsu semata, namun tidak memiliki substansi kebenaran atau nilai yang bertahan lama. Ini bisa berupa pujian palsu, nasihat yang menyesatkan, hiburan yang dangkal, atau godaan yang menjanjikan kesenangan instan tanpa memikirkan akibatnya. Orang bodoh, dalam pengertian ini, adalah mereka yang hidup tanpa kebijaksanaan, tanpa pemahaman akan nilai-nilai luhur, dan seringkali hanya mengejar kesenangan pribadi tanpa peduli pada kebenaran atau dampak jangka panjangnya. Suara mereka mungkin terdengar merdu di telinga, namun pada akhirnya akan membawa kita pada kehancuran atau penyesalan.
Perbandingan yang dibuat dalam ayat ini sangatlah relevan di zaman modern. Kita dibanjiri oleh berbagai macam informasi dan suara setiap hari. Media sosial, hiburan, bahkan percakapan sehari-hari bisa menjadi sumber "nyanyian orang bodoh" yang tak henti-hentinya menggoda kita untuk mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran dan kebijaksanaan. Tanpa kemampuan untuk membedakan mana yang berharga dan mana yang kosong, kita berisiko tersesat dalam lautan kesenangan semu dan kehilangan arah hidup.
Kearifan sejati terletak pada kemampuan kita untuk memilih dengan bijak suara mana yang kita izinkan untuk memengaruhi pikiran dan tindakan kita. Ini berarti kita harus bersedia untuk mendengarkan suara teguran, bahkan ketika itu tidak nyaman. Ini mungkin berarti mendengarkan nasihat dari orang yang lebih tua dan bijaksana, merenungkan ajaran-ajaran rohani yang mendalam, atau bahkan mendengarkan suara hati nurani kita sendiri yang seringkali berbicara dengan lembut namun pasti. Kemauan untuk menerima kritik yang membangun, untuk belajar dari kesalahan, dan untuk terus memperbaiki diri adalah tanda-tanda pendengar yang bijak.
Sebaliknya, kita perlu belajar untuk mengidentifikasi dan menjauhi "nyanyian orang bodoh." Ini bukan berarti kita harus menolak segala bentuk hiburan atau kesenangan, melainkan kita perlu memiliki penilaian yang sehat. Apakah sesuatu itu membangun atau merusak? Apakah itu mengarahkan kita pada kebaikan atau keburukan? Apakah itu sesuai dengan prinsip-prinsip abadi atau hanya tren sesaat? Dengan mengembangkan kepekaan terhadap suara-suara ini, kita dapat melindungi diri kita dari pengaruh-pengaruh negatif dan memastikan bahwa hidup kita diarahkan oleh kebijaksanaan yang kekal.
Pengkhotbah 7:5 mengingatkan kita bahwa pertumbuhan dan kehidupan yang bermakna bukanlah tentang mencari kesenangan yang paling keras atau paling merdu, melainkan tentang mencari kebenaran yang akan menuntun kita menuju jalan kehidupan yang lebih baik. Dengarkanlah teguran orang berhikmat; di dalamnya tersimpan harta karun kebijaksanaan yang tak ternilai.