"Siapakah yang berfirman yang terjadi, kalau Tuhan tidak memerintahkannya?"
Firman Tuhan dalam Kitab Ratapan pasal 3, ayat 37, memberikan sebuah perspektif yang mendalam tentang kedaulatan ilahi. Ayat ini, "Siapakah yang berfirman yang terjadi, kalau Tuhan tidak memerintahkannya?", bukan sekadar kalimat tanya retoris, melainkan sebuah pernyataan teologis yang kuat. Di tengah-tengah masa-masa sulit, ketika cobaan terasa berat dan masa depan tampak suram, ayat ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini berada di bawah kendali dan kehendak Tuhan.
Konteks Kitab Ratapan sendiri menggambarkan kesedihan yang mendalam atas kehancuran Yerusalem. Penulisnya, yang diyakini sebagai Nabi Yeremia, mencurahkan isi hatinya yang penuh duka dan keputusasaan. Namun, di antara ratapan itu, terselip pengakuan akan kuasa Tuhan. Ayat Ratapan 3:37 muncul sebagai mercusuar harapan, menerangi kegelapan dengan kebenaran bahwa tidak ada satu peristiwa pun yang luput dari perhatian dan pengaturan Tuhan.
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita dihadapkan pada situasi yang tidak dapat kita prediksi atau kendalikan. Ada peristiwa yang datang begitu saja, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Ketika segala sesuatunya berjalan lancar, mudah bagi kita untuk merasa bahwa kita memegang kendali. Namun, ketika badai datang, kita seringkali merasa kecil dan tak berdaya. Di sinilah firman Ratapan 3:37 kembali relevan. Ia mengajak kita untuk melihat lebih jauh dari sekadar kejadian yang tampak, untuk mengenali tangan Tuhan yang bekerja di balik layar.
Penting untuk dipahami bahwa "memerintahkannya" tidak selalu berarti Tuhan menginginkan segala sesuatu yang buruk terjadi dalam arti persetujuan aktif. Namun, itu berarti bahwa Tuhan memiliki otoritas tertinggi dan semua kejadian, baik positif maupun negatif, pada akhirnya tunduk pada rencana-Nya yang lebih besar. Ini bisa berarti bahwa Tuhan mengizinkan sesuatu terjadi untuk tujuan-Nya yang mulia, atau bahwa Ia mampu mengubah situasi yang terburuk sekalipun menjadi sesuatu yang baik.
Memiliki keyakinan pada kedaulatan Tuhan bukan berarti kita pasif dan tidak melakukan apa-apa. Sebaliknya, pengakuan ini seharusnya memotivasi kita untuk bertindak dengan hikmat, keberanian, dan iman. Kita dapat berdoa, berusaha, dan memberikan yang terbaik dalam setiap aspek kehidupan, sambil tetap berserah kepada kehendak-Nya. Ayat Ratapan 3:37 mengajarkan kita kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita bukanlah penguasa mutlak, melainkan bagian dari ciptaan yang dikasihi dan diatur oleh Pencipta yang mahatahu dan mahakuasa. Dalam setiap keadaan, baik suka maupun duka, iman pada firman ini memberikan kekuatan untuk bertahan dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.