Ilustrasi simbol kebaikan yang mengalir

Ulangan 25:7 - Kebaikan Tanpa Henti

"Jikalau ia berkata: 'Aku tidak mau pergi', maka tuannya harus membawanya ke pintu atau ke tiang pintu, dan tuannya harus menyucuk kedua telinganya dengan buritan, supaya ia menjadi hambanya untuk selama-lamanya."

Ayat dari kitab Ulangan ini mungkin terdengar keras dan kurang menyenangkan di telinga kita yang modern. Namun, jika kita menyelami maknanya lebih dalam, terutama dalam konteks spiritual, kita akan menemukan sebuah prinsip penting yang sangat berharga: pentingnya memberikan diri secara penuh dan sukarela dalam pelayanan.

Dalam tradisi hukum Musa, ada sebuah ketentuan yang mengatur tentang pembebasan budak pada tahun Yobel. Namun, ayat 7 ini berbicara tentang situasi yang sedikit berbeda, yaitu ketika seorang hamba (atau budak) menunjukkan ketidaksetiaan atau keinginan untuk tidak pergi dari tuannya pada saat yang seharusnya ia bebas. Tuan memiliki hak untuk menandai budak tersebut sebagai miliknya selamanya.

Secara harfiah, penucukan telinga adalah tanda kepemilikan yang permanen. Ini bukan tentang hukuman semata, melainkan penegasan kesetiaan yang telah dipilih secara sadar, meskipun dalam kondisi yang mungkin dianggap sebagai keterpaksaan oleh sebagian orang. Namun, semangat yang ingin disampaikan oleh ayat ini, ketika diinterpretasikan secara rohani, adalah tentang komitmen yang tidak terputus.

Mari kita pindahkan fokus dari konteks perbudakan kuno ke hubungan kita dengan Sang Pencipta. Seringkali, kita merasakan panggilan untuk melayani, untuk mengabdikan hidup kita pada kehendak-Nya, untuk menjadi alat kebaikan di dunia. Namun, ada kalanya kita mungkin merasa ragu, bimbang, atau bahkan ingin "mundur" dari panggilan tersebut. Keinginan untuk tetap berada dalam zona nyaman, menunda komitmen, atau terikat pada hal-hal duniawi dapat menghalangi kita.

Ayat Ulangan 25:7, dalam makna kiasannya, mengingatkan kita akan konsekuensi dari ketidaksetiaan atau penolakan terhadap panggilan ilahi. Namun, yang lebih penting lagi, ayat ini juga bisa dilihat sebagai sebuah gambaran tentang bagaimana komitmen yang teguh kepada Tuhan akan membawa kita pada kebebasan sejati dan kepenuhan makna hidup. Ketika kita memilih untuk "menyucuk telinga" kita kepada-Nya, artinya kita bersedia mendengar suara-Nya, taat pada firman-Nya, dan mengikuti jejak-Nya tanpa keraguan.

Kebaikan yang sejati bukanlah sesuatu yang dilakukan setengah hati. Ketika kita memberikan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan, kita tidak kehilangan apa pun, justru kita memperoleh segalanya. Kita menjadi bagian dari rencana-Nya yang agung, merasakan kasih-Nya yang tak berkesudahan, dan mengalami sukacita yang meluap. Komitmen ini seperti sebuah perjanjian, di mana kita menyatakan kesediaan kita untuk melayani, dan Tuhan, dalam kasih dan kesetiaan-Nya, akan senantiasa menyertai dan memberkati kita.

Oleh karena itu, mari kita renungkan makna ayat ini dalam kehidupan kita. Apakah kita siap untuk memberikan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan, mendengarkan suara-Nya dengan telinga hati kita, dan mengikutinya dengan teguh? Kebaikan yang tanpa henti dimulai dari komitmen yang tanpa syarat. Dengan demikian, kita akan menemukan kepuasan dan makna yang terdalam dalam pelayanan kepada-Nya dan sesama.