"Gunung Batu yang melahirkan engkau telah kaulupakan, dan Allah yang menjagamu telah kauacuhkan."
Ayat Ulangan 32:18 menyampaikan sebuah teguran yang mendalam dari Tuhan kepada umat-Nya. Kata-kata ini diucapkan oleh Musa dalam nyanyiannya, sebuah kesaksian terakhir yang berisi pengingat tentang kesetiaan Allah dan ketidaksetiaan manusia. Fokus utama dari ayat ini adalah pengingat bahwa umat pilihan telah "melupakan" dan "mengacuhkan" Sang Pencipta dan Penyelamat mereka.
Penting untuk memahami metafora yang digunakan. "Gunung Batu yang melahirkan engkau" merujuk pada Allah sendiri. Gunung batu adalah simbol kekuatan, keteguhan, keandalan, dan ketahanan yang tak tergoyahkan. Dalam konteks keluaran dari Mesir dan perjalanan di padang gurun, Allah adalah sumber kekuatan dan keamanan yang kokoh bagi Israel. Dia yang telah "melahirkan" mereka, bukan hanya secara fisik dalam arti membebaskan mereka, tetapi juga secara metaforis dalam arti membentuk mereka menjadi bangsa-Nya.
Selanjutnya, "Allah yang menjagamu" menekankan aspek pemeliharaan dan perlindungan ilahi. Sepanjang perjalanan mereka, Allah tidak hanya membebaskan mereka, tetapi juga menuntun, memberi makan, memberi minum, dan menjaga mereka dari bahaya. Dia adalah Penjaga yang tak pernah tidur, yang senantiasa hadir untuk memastikan kelangsungan hidup dan kesejahteraan umat-Nya. Keberadaan-Nya terasa nyata, terbukti dari setiap mujizat yang terjadi.
Namun, ayat ini menyoroti sebuah tragedi: umat tersebut telah melupakan sumber dari segala berkat dan perlindungan ini. Lupa di sini bukan sekadar kehilangan ingatan, tetapi lebih kepada pengabaian yang disengaja. Mereka telah mengalihkan perhatian, hati, dan kesetiaan mereka dari Allah kepada hal-hal lain.
Kesalahan ini sering kali terjadi ketika kemakmuran dan keamanan telah tercapai. Ketika hidup terasa mudah dan nyaman, manusia cenderung menjadi sombong dan melupakan kebutuhan mereka akan Tuhan. Mereka mungkin mulai mengandalkan kekuatan mereka sendiri, kekayaan mereka, atau kebijaksanaan duniawi, daripada bersandar pada Allah. Ini adalah perangkap spiritual yang sangat umum, di mana pencapaian justru menjauhkan seseorang dari Sumber pencapaian itu sendiri.
Musa memperingatkan mereka agar tidak mengikuti jejak para leluhur mereka yang seringkali memberontak dan tidak setia. Nyanyian ini dimaksudkan sebagai pengingat abadi bahwa keberadaan, keamanan, dan kemakmuran mereka sepenuhnya bergantung pada anugerah dan kesetiaan Allah. Melupakan Allah berarti mengabaikan dasar keberadaan mereka sendiri dan menempatkan diri pada posisi yang rapuh dan tidak aman.
Pesan Ulangan 32:18 tetap relevan hingga kini. Dalam kesibukan hidup modern, dengan segala kemudahan teknologi dan kenyamanan material, sangat mudah bagi kita untuk menjadi seperti umat Israel kuno. Kita mungkin lupa untuk secara aktif bersyukur dan mengakui peran Allah dalam kehidupan kita. Kita mungkin menganggap pencapaian kita sebagai hasil semata-mata dari usaha kita sendiri, tanpa mengakui bahwa bahkan kemampuan untuk berusaha pun adalah pemberian dari Dia.
Perenungan atas ayat ini mengajak kita untuk memeriksa hati kita. Apakah kita benar-benar mengingat dan menghormati Allah dalam segala aspek kehidupan kita? Apakah kita secara sadar mengandalkan-Nya dalam kesulitan dan bersyukur kepada-Nya dalam kemudahan? Melupakan Sang Pencipta adalah sebuah tindakan yang tragis, karena hanya dalam Dia kita menemukan kekuatan sejati, perlindungan yang abadi, dan makna hidup yang terdalam.