Kitab Yehezkiel, seorang nabi besar di masa pembuangan Babel, seringkali berisi penglihatan yang kuat dan pesan-pesan yang gamblang untuk umat Allah. Salah satu bagian yang menyoroti realitas dosa dan konsekuensinya terdapat dalam pasal 23, yang mengisahkan tentang perumpamaan dua saudara perempuan, Oholah (Samaria) dan Oholiba (Yerusalem). Ayat 37 dalam pasal ini, "Sebab mereka telah berzina dan darah ada di tangan mereka," merupakan pernyataan yang sangat keras dan menyayat hati.
Pernyataan ini tidak hanya merujuk pada perzinahan secara harfiah, tetapi lebih mendalam lagi, menggambarkan kerusakan moral dan spiritual yang parah yang telah merasuki Israel, khususnya Yehuda yang diwakili oleh Oholiba. "Berzina" di sini adalah metafora untuk kesetiaan yang dikhianati kepada Allah. Bangsa Israel telah membuat perjanjian dan hubungan yang tidak kudus dengan bangsa-bangsa kafir di sekitar mereka, baik secara politik maupun religius. Mereka mencari perlindungan dan pertolongan dari kekuatan asing daripada bersandar sepenuhnya kepada Tuhan. Hal ini adalah bentuk pengkhianatan tertinggi terhadap "perjanjian pernikahan" mereka dengan Sang Pencipta.
Bagian yang lebih mengerikan adalah ungkapan "darah ada di tangan mereka." Ini menunjukkan bahwa dosa-dosa mereka telah membawa kepada penumpahan darah yang tidak bersalah. Kemurtadan spiritual mereka seringkali beriringan dengan kekejaman, ketidakadilan, dan penindasan terhadap sesama. Mereka mungkin telah terlibat dalam pembunuhan orang-orang yang setia kepada Tuhan, para nabi, atau bahkan pelaksanaan ritual keagamaan yang melibatkan pengorbanan manusia yang mengerikan di bawah pengaruh penyembahan berhala. Dosa telah mengotori tangan mereka dengan noda yang tidak dapat dihapuskan, sebuah bukti nyata dari kedalaman kebejatan mereka.
Yehezkiel diutus untuk menyampaikan kabar buruk ini, bukan untuk sekadar menghakimi, tetapi untuk membangunkan umat dari tidur lelap dosa mereka. Pesan ini sangat penting sebagai pengingat akan kekudusan Allah dan keseriusan dosa di mata-Nya. Ia menunjukkan bahwa dosa, sekecil apapun kelihatannya, memiliki konsekuensi yang nyata dan dapat membawa kehancuran, baik secara individu maupun komunal. Perzinahan spiritual dan kekerasan yang dilakukan oleh Oholiba akhirnya membawa mereka pada murka Allah yang dahsyat, yaitu pembuangan dan kehancuran Yerusalem.
Namun, di balik peringatan keras ini, selalu ada janji pemulihan yang tersirat dalam pelayanan Yehezkiel. Kisah dosa dan penghakiman ini adalah prelude untuk pesan harapan yang lebih besar. Allah yang adil juga adalah Allah yang penuh kasih. Ketika umat merendahkan diri dan bertobat, Allah berjanji untuk memurnikan mereka, mengembalikan mereka ke tanah perjanjian, dan memberi mereka hati yang baru. Ayat Yehezkiel 23:37, meskipun pedih, berfungsi sebagai cermin yang memperlihatkan betapa jauhnya mereka telah jatuh, sehingga mereka dapat melihat kebutuhan mendesak akan pertobatan dan pemulihan ilahi. Ini adalah panggilan untuk kembali kepada kesetiaan yang murni kepada Allah, melepaskan diri dari segala bentuk kemurtadan, dan memurnikan tangan dari segala kejahatan.