"Mengapakah aku tidak mati pada waktu aku lahir? Mengapakah tidak pada waktu aku keluar dari kandungan ibuku dan mati? Mengapakah ada lutut yang menyambut aku, dan mengapa ada payudara yang kususu?"
Ayat Yeremia 20:17 adalah sebuah seruan yang penuh kepedihan dan pergumulan. Nabi Yeremia, yang diperintahkan Tuhan untuk menyampaikan firman-Nya kepada bangsa Yehuda yang seringkali memberontak, mengungkapkan kedalaman penderitaannya. Dalam ayat ini, Yeremia mengucapkan kutukan atas hari kelahirannya sendiri. Ia mempertanyakan mengapa ia harus dilahirkan ke dunia yang penuh dengan kejahatan, penderitaan, dan penolakan, daripada mengakhiri hidupnya dalam ketidakberadaan sejak awal. Perasaan ini muncul bukan karena ia tidak percaya pada Tuhan, melainkan karena beban kenabian yang sangat berat dan penolakan keras yang ia terima dari sesamanya.
Yeremia dikenal sebagai "Nabi Peratap" karena ratapannya yang dalam dan seringkali diwarnai oleh kesedihan. Ia harus menyaksikan bangsanya jatuh ke dalam dosa berulang kali, menolak peringatan ilahi, dan pada akhirnya menghadapi konsekuensi yang mengerikan, termasuk pembuangan ke Babel. Tugasnya sebagai nabi bukanlah tugas yang menyenangkan; ia seringkali harus menyampaikan berita buruk dan menghadapi ejekan, penganiayaan, bahkan ancaman fisik. Dalam konteks inilah, kutukan atas kelahirannya menjadi sebuah ekspresi dari rasa sakit yang begitu dalam, seolah-olah kematian di awal kehidupan akan lebih baik daripada harus menanggung beban dan kesakitan yang ia rasakan.
Namun, di balik ungkapan keputusasaan ini, tersimpan kekuatan iman yang luar biasa. Yeremia tidak pernah berhenti melayani Tuhan, meskipun seringkali ia merasa ingin menyerah. Keinginannya untuk tidak dilahirkan adalah respons terhadap realitas yang begitu menyakitkan, namun juga menunjukkan betapa ia menghargai kehidupan dan kesetiaan kepada Tuhan. Ia bergumul dengan kehendak Tuhan dan dengan penderitaan yang dialaminya, tetapi ia tetap teguh pada panggilannya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa bahkan para hamba Tuhan yang paling setia pun bisa mengalami keraguan, kelelahan, dan kepedihan yang mendalam.
Penting untuk dipahami bahwa kutukan ini bukanlah bentuk ketidakpercayaan terhadap rencana Tuhan, melainkan jeritan hati seorang yang sangat terbeban. Yeremia terus melanjutkan tugasnya, menyampaikan kebenaran meskipun itu berarti mengorbankan kenyamanan dan keselamatannya sendiri. Kisah Yeremia mengajarkan kita tentang ketahanan iman di tengah kesulitan, pentingnya pengampunan atas penderitaan yang dialami, dan bahwa Tuhan mendengar setiap keluhan dan ratapan hati hamba-Nya. Kehidupan Yeremia, termasuk pergumulannya yang terekam dalam ayat-ayat seperti Yeremia 20:17, menjadi teladan bahwa iman sejati seringkali diuji dalam situasi paling sulit, dan bahwa kekuatan kita seringkali ditemukan dalam keteguhan untuk terus berjalan meskipun hati terasa berat.