"Dan pada hari itu orang-orang yang mati oleh TUHAN akan bertempetan dari ujung ke ujung bumi, tidak akan diratapi, tidak akan dikumpulkan dan tidak akan dikuburkan; mereka akan menjadi pupuk di atas permukaan bumi."
Simbol Keadilan Ilahi dan Penghakiman
Kitab Yeremia, sebuah nabi yang menyaksikan kejatuhan Yerusalem dan pembuangan bangsanya, seringkali menyajikan gambaran yang gamblang dan terkadang mengerikan tentang penghakiman Allah. Ayat Yeremia 25:33 adalah salah satu contoh yang paling menonjol. Ayat ini menggambarkan sebuah peristiwa kehancuran yang begitu luas dan dahsyat, sehingga mayat orang-orang yang mati tidak akan diratapi, dikumpulkan, apalagi dikuburkan. Mereka akan terhampar di permukaan bumi, menjadi pupuk bagi tanah. Ini adalah metafora yang kuat untuk menggambarkan ketidakberdayaan manusia di hadapan murka ilahi yang penuh.
Ayat ini bukan sekadar deskripsi apokaliptik yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari serangkaian nubuat yang lebih besar tentang penghakiman Allah atas bangsa-bangsa yang telah menyakiti umat pilihan-Nya, serta atas umat pilihan itu sendiri akibat dosa-dosa mereka. Yeremia diutus oleh Allah untuk menyampaikan firman-Nya, baik tentang hukuman bagi bangsa-bangsa yang congkak maupun teguran keras bagi Israel dan Yehuda yang telah berpaling dari perjanjian mereka.
Dalam konteks pasal 25 Yeremia, nabi ini menubuatkan hukuman atas semua bangsa di bumi, termasuk Mesir, Filistin, Moab, Amon, Edom, Tirus, Sidon, dan juga Babel yang pada akhirnya akan menjadi alat penghakiman Allah. Namun, penghakiman itu sendiri pun akan datang kepada Babel. Kengerian yang digambarkan dalam ayat 33 ini bisa jadi merujuk pada malapetaka yang ditimbulkan oleh Babel, atau pada penghakiman akhir yang lebih universal yang akan menimpa semua umat manusia yang memberontak terhadap Pencipta mereka.
Secara teologis, Yeremia 25:33 menekankan kedaulatan mutlak Allah atas segala ciptaan dan sejarah. Ketika Allah memutuskan untuk menghakimi, tidak ada kekuatan manusiawi yang dapat menahan-Nya. Ketiadaan ratapan dan penguburan bagi yang mati menunjukkan kehancuran total dan hilangnya segala martabat kemanusiaan dalam penghakiman tersebut. Ini bukan hanya kematian fisik, tetapi juga kematian spiritual dan kehancuran total dari segala sesuatu yang dibangun manusia tanpa mengakui Allah.
Ayat ini juga berfungsi sebagai peringatan keras. Ia mengingatkan kita bahwa dosa memiliki konsekuensi yang serius, dan kesombongan serta penolakan terhadap otoritas ilahi akan selalu berujung pada kehancuran. Di sisi lain, pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat penghakiman seperti ini seharusnya tidak hanya menimbulkan rasa takut, tetapi juga mendorong introspeksi dan pertobatan. Ini adalah panggilan untuk kembali kepada Allah, mencari pengampunan-Nya, dan hidup dalam ketaatan kepada-Nya sebelum datangnya hari penghakiman yang pasti.
Meskipun Yeremia banyak berbicara tentang penghakiman, kitab ini juga diwarnai oleh janji-janji pemulihan dan pengharapan. Allah tidak pernah sepenuhnya meninggalkan umat-Nya. Setelah penghakiman, akan ada masa penebusan dan pembaharuan. Namun, untuk mencapai pemulihan itu, umat manusia harus terlebih dahulu menghadapi realitas keadilan ilahi yang tegas dan mengerikan, seperti yang digambarkan dalam Yeremia 25:33. Ayat ini tetap relevan hingga kini sebagai pengingat akan keagungan dan keadilan Allah, serta panggilan untuk hidup dengan kesadaran akan pertanggungjawaban kita di hadapan-Nya.