"Dan bagaimana dengan Hizkia, raja Yehuda, dan seluruh Yehuda? Apakah ia tidak membunuh semua imamnya, yang tadinya melayani TUHAN, Allah mereka? Apakah ia tidak merobohkan mezbah-mezbah ibadah mereka dan menghancurkan tempat-tempat ibadah mereka, dan memerintahkan agar seluruh Yehuda dan Yerusalem menyembah di depan sebuah mezbah saja?"
Kitab Yeremia adalah sebuah catatan sejarah dan nubuat yang penuh dengan tantangan dan penderitaan. Di tengah gejolak politik dan ancaman kehancuran yang dihadapi bangsa Israel, firman Tuhan disampaikan melalui Nabi Yeremia untuk mengingatkan dan membimbing umat-Nya. Ayat Yeremia 37:18 menyoroti sebuah momen refleksi yang mendalam, mengajak kita untuk melihat kembali tindakan para pemimpin masa lalu dan merenungkan implikasinya. Pertanyaan-pertanyaan retoris yang diajukan dalam ayat ini bukanlah sekadar basa-basi, melainkan undangan untuk mengevaluasi kembali keyakinan dan praktik spiritual.
Ayat ini merujuk pada masa pemerintahan Raja Hizkia. Dalam konteks sejarah, Hizkia adalah raja yang dikenal saleh dan berusaha keras untuk mengembalikan ibadah yang murni kepada TUHAN. Ia menghancurkan mezbah-mezbah berhala, menyingkirkan penyembahan dewa-dewa asing, dan memusatkan seluruh ibadah hanya kepada TUHAN di Yerusalem. Tindakan ini, meskipun dilakukan dengan tujuan mulia untuk memurnikan iman umat, ternyata juga menimbulkan pertanyaan yang cukup berat. Yeremia 37:18 menanyakan, "Apakah ia tidak membunuh semua imamnya, yang tadinya melayani TUHAN, Allah mereka? Apakah ia tidak merobohkan mezbah-mezbah ibadah mereka dan menghancurkan tempat-tempat ibadah mereka, dan memerintahkan agar seluruh Yehuda dan Yerusalem menyembah di depan sebuah mezbah saja?"
Pertanyaan ini bisa menimbulkan kebingungan. Bukankah Hizkia adalah raja yang baik? Bukankah tindakannya untuk memurnikan ibadah adalah sesuatu yang terpuji di mata Tuhan? Di sinilah letak kedalaman pesan Yeremia. Ayat ini tampaknya menyoroti bahwa bahkan tindakan yang terlihat baik, jika tidak dilakukan dengan hati-hati dan penuh pemahaman tentang seluruh konteks, dapat menimbulkan dampak yang tidak terduga atau bahkan problematis. Mungkin saja ada imam-imam yang setia kepada TUHAN di tempat-tempat ibadah yang kemudian dihancurkan. Mungkin ada tradisi atau praktik ibadah yang sudah mengakar meskipun di tempat yang salah.
Dalam konteks Yeremia 37:18, pertanyaan ini bisa menjadi pengantar untuk sebuah dialog yang lebih besar tentang kepatuhan, pengorbanan, dan konsekuensi dari keputusan kepemimpinan. Nabi Yeremia, dalam narasi yang lebih luas, sering kali menyampaikan pesan peringatan tentang penghakiman Tuhan atas dosa-dosa umat-Nya. Namun, di tengah pesan penghakiman itu, selalu ada benang merah harapan.
Bagi kita yang membaca kitab ini hari ini, Yeremia 37:18 mengingatkan bahwa setiap tindakan, terutama yang menyangkut keyakinan dan ibadah, harus dipertimbangkan dengan cermat. Pemimpin memiliki tanggung jawab besar, dan keputusan mereka dapat memiliki dampak jangka panjang yang meluas. Gereja dan komunitas iman masa kini juga perlu belajar dari sejarah ini. Bagaimana kita memastikan bahwa dalam upaya pemurnian atau pembaruan, kita tidak mengabaikan atau bahkan merugikan jiwa-jiwa yang seharusnya kita layani? Bagaimana kita menyeimbangkan ketegasan prinsip dengan kasih dan pengertian?
Meskipun ayat ini menyoroti aspek-aspek sulit dari sejarah Israel, pesan utamanya adalah tentang panggilan untuk menjalani hidup yang setia dan benar di hadapan Tuhan, sambil terus belajar dan merenungkan firman-Nya. Harapan selalu ada, bahkan ketika kita menghadapi tantangan dan mempertanyakan tindakan masa lalu. Perenungan atas Yeremia 37:18 membuka pintu untuk diskusi yang lebih mendalam tentang kepemimpinan yang bertanggung jawab dan ibadah yang tulus, yang selalu berakar pada kasih dan kebenaran Tuhan.