"Beginilah firman TUHAN: Siapa yang tinggal di kota ini, akan mati oleh pedang, atau oleh karena lapar, atau oleh karena penyakit sampar; tetapi siapa yang keluar mendapatkan orang Kasdim, ia akan hidup. Nyawanya akan menjadi rampasan baginya dan ia akan hidup."
Kutipan dari Kitab Yeremia pasal 38 ayat 2 ini merupakan momen krusial yang mencerminkan situasi genting yang dihadapi bangsa Yehuda dan kota Yerusalem. Di tengah kepungan dan ancaman kehancuran yang semakin nyata dari pasukan Babel di bawah pimpinan Nebukadnezar, Allah menyampaikan sebuah pesan yang tegas namun penuh belas kasih melalui nabi Yeremia.
Ayat ini muncul dalam konteks di mana harapan tampaknya telah pupus. Yerusalem terisolasi, perbekalan menipis, dan moral penduduk merosot. Para pemimpin kota, yang seharusnya menjadi penuntun dan pelindung, justru sering kali bertindak gegabah dan menolak peringatan ilahi. Dalam situasi seperti ini, pesan Allah melalui Yeremia bukanlah fatwa kepastian kehancuran semata, melainkan sebuah pilihan hidup yang berat.
"Siapa yang tinggal di kota ini, akan mati..." Kalimat ini menekankan konsekuensi dari ketidaktaatan dan keras kepala. Bertahan di dalam tembok Yerusalem yang terkepung berarti menghadapi kematian yang mengerikan: kematian oleh pedang musuh yang tak kenal ampun, kematian akibat kelaparan yang melanda akibat blokade, atau kematian oleh penyakit sampar yang merajalela dalam kondisi kumuh dan tanpa perawatan memadai. Ini adalah gambaran nyata dari ketidakberdayaan manusia di hadapan murka ilahi yang ditimpakan sebagai akibat dari dosa dan penolakan terhadap jalan kebenaran.
Namun, di sisi lain, ada sebuah tawaran yang menyelamatkan: "...tetapi siapa yang keluar mendapatkan orang Kasdim, ia akan hidup. Nyawanya akan menjadi rampasan baginya dan ia akan hidup." Pesan ini adalah sebuah jalan keluar, sebuah harapan di tengah keputusasaan. "Keluar mendapatkan orang Kasdim" berarti menyerah, mengakui kekalahan, dan mencari perlindungan di bawah kekuasaan penakluk. Ini bukan tindakan yang mudah, karena melibatkan rasa malu, hilangnya harga diri, dan prospek menjadi tawanan. Namun, Allah menjanjikan imbalan yang paling berharga: kehidupan. Nyawa yang diselamatkan itu ibarat sebuah "rampasan", sesuatu yang diperoleh dengan susah payah namun sangat bernilai.
Pesan dalam Yeremia 38:2 mengajarkan kita tentang keadilan dan belas kasih Allah. Keadilan menuntut pertanggungjawaban atas dosa, sementara belas kasih menawarkan kesempatan untuk bertobat dan diselamatkan. Pilihan yang diberikan kepada penduduk Yerusalem mencerminkan prinsip universal bahwa ada konsekuensi bagi pilihan-pilihan kita. Berpegang teguh pada jalan yang salah akan membawa pada kehancuran, sementara kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan beralih ke jalan yang benar dapat mendatangkan keselamatan.
Dalam konteks spiritual, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai panggilan untuk meninggalkan kesombongan duniawi, ketidaktaatan, dan semua yang menghalangi hubungan kita dengan Tuhan. Seringkali, kita cenderung keras kepala mempertahankan cara-cara kita sendiri, meskipun itu jelas membawa kita pada kehancuran rohani. Pesan Yeremia 38:2 adalah pengingat bahwa ada jalan keluar, yaitu dengan "keluar" dari zona nyaman dosa, "menyerah" kepada kehendak Tuhan, dan menerima penyelamatan yang telah Ia sediakan melalui pengorbanan Kristus. Kehidupan yang dijanjikan bukanlah sekadar eksistensi fisik, tetapi kehidupan kekal yang penuh kedamaian dan sukacita bersama Sang Pencipta. Mari kita memilih hidup, dengan merendahkan hati dan menerima anugerah keselamatan-Nya.