Yeremia 38:4

Maka berkatalah mereka kepada raja: "Orang ini harus dihukum mati, sebab ia melemahkan semangat orang-orang yang masih tinggal di kota ini dan semangat seluruh rakyat dengan perkataannya. Sebab orang ini tidak mencari kesejahteraan bangsanya, melainkan celakanya."

Dalam Badai, Suara Kebenaran

Simbol harapan dan keteguhan di tengah kesulitan.

Ayat Yeremia 38:4 menggambarkan sebuah momen krusial dalam sejarah bangsa Israel. Di tengah ancaman invasi Babilonia, Yeremia, sebagai nabi Tuhan, menyampaikan pesan yang menyakitkan namun penting: bahwa Yerusalem akan jatuh dan tidak ada cara untuk menghindari malapetaka kecuali dengan menyerah kepada musuh. Pesan ini, walau disampaikan dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa dan kota, justru disambut dengan permusuhan oleh para pemimpin dan bahkan raja. Mereka melihat perkataan Yeremia bukan sebagai peringatan ilahi, melainkan sebagai tindakan pengkhianatan yang bertujuan untuk melemahkan semangat juang rakyat yang tersisa.

Dalam konteks situasi yang genting, di mana setiap orang berusaha mencari cara untuk bertahan dan mempertahankan kota tercinta, perkataan yang dianggap membawa keputusasaan atau kegagalan akan sangat tidak populer. Para pemimpin yang disebutkan dalam ayat ini merasa bahwa Yeremia telah menyimpang dari tujuan mulia untuk "mencari kesejahteraan bangsanya". Sebaliknya, mereka menuduhnya "mencari celakanya". Tuduhan ini menunjukkan betapa besarnya kesalahpahaman dan penolakan terhadap nubuat yang disampaikan oleh Yeremia. Mereka tidak mau mengakui kebenaran dari pesan tersebut, meskipun pesan itu datang dari seorang nabi yang diutus oleh Tuhan.

Peristiwa ini menyoroti sebuah dilema yang seringkali dihadapi oleh para penyampai kebenaran. Ketika kebenaran yang disampaikan itu sulit didengar, pahit, atau berlawanan dengan keinginan mayoritas, ia seringkali disalahartikan dan bahkan ditolak mentah-mentah. Para pemimpin kota lebih memilih untuk mempertahankan ilusi harapan palsu demi menjaga moral publik, daripada menghadapi kenyataan yang brutal dan mengambil langkah-langkah yang mungkin menyakitkan namun diperlukan. Yeremia, dalam pandangan mereka, adalah hambatan untuk mempertahankan semangat juang, meskipun semangat itu didasarkan pada harapan yang tidak realistis.

Kisah Yeremia dalam pasal ini menjadi pengingat akan keberanian yang dibutuhkan untuk menyampaikan kebenaran, bahkan ketika itu berarti menghadapi penolakan, tuduhan, dan penganiayaan. Pesan Yeremia, yang dianggap melemahkan, sebenarnya adalah panggilan untuk realisme dan persiapan menghadapi apa yang tak terhindarkan. Dalam situasi krisis, kebenaran seringkali adalah obat yang paling pahit, namun justru paling menyembuhkan dalam jangka panjang. Perjuangan Yeremia untuk menyampaikan pesan Tuhan, meskipun berujung pada pembuangannya ke dalam perigi, menunjukkan betapa beratnya harga yang harus dibayar untuk kesetiaan pada firman ilahi di tengah dunia yang seringkali menolak kebenaran.