"Lalu berkatalah mereka kepada Yeremia: 'Kiranya TUHAN menjadi saksi yang benar dan setia terhadap kami, apabila kami tidak melakukan segala firman yang oleh TUHAN, Allahmu, disampaikan kepada kami dengan perantaraanmu."
Pergumulan Iman: Mencari Petunjuk Ilahi
Perikop Yeremia 42:5 mencatat sebuah momen krusial dalam sejarah bangsa Yehuda. Setelah kehancuran Yerusalem di tangan Babel, para pemimpin yang tersisa, termasuk Yoanan bin Kareah dan para perwiranya, datang kepada Nabi Yeremia. Mereka berada dalam situasi yang sangat genting, diliputi ketakutan, ketidakpastian, dan kebingungan. Di tengah reruntuhan dan ancaman yang membayangi, mereka membuat sebuah permohonan yang sarat makna. Mereka meminta Yeremia untuk bertanya kepada TUHAN, Allah mereka, mengenai jalan yang harus mereka tempuh, dan berjanji untuk mematuhi segala perintah yang disampaikan melalui Yeremia.
Inti dari permohonan mereka adalah sebuah pengakuan atas otoritas Tuhan dan keinginan untuk taat. Namun, terkadang, kesungguhan taat itu baru muncul ketika seseorang sudah berada di titik terendahnya. Mereka tidak lagi mengandalkan kekuatan sendiri, strategi manusia, atau nasihat dari sesama. Sebaliknya, mereka mencari sumber hikmat yang sejati, yaitu firman Tuhan. Frasa "Kiranya TUHAN menjadi saksi yang benar dan setia terhadap kami" menunjukkan bahwa mereka ingin mengikatkan diri pada janji yang sakral, siap menerima konsekuensi apapun jika mereka tidak menepati janji untuk taat.
Dalam kehidupan pribadi kita, seringkali kita dihadapkan pada persimpangan jalan. Ada kalanya kita merasa tersesat, tidak tahu arah yang harus diambil, atau ragu akan keputusan yang terbaik. Situasi sulit, kegagalan, atau kehilangan dapat membuat kita merasa seperti bangsa Yehuda pasca-kehancuran. Di saat-saat seperti inilah, suara Yeremia 42:5 kembali bergema. Ia mengingatkan kita akan pentingnya berpaling kepada Tuhan, sumber segala hikmat dan kebenaran. Permohonan para pemimpin Yehuda adalah teladan bagi kita untuk tidak ragu menghampiri hadirat Tuhan, bertanya dengan kerendahan hati, dan siap untuk mendengarkan serta melakukan apa yang Dia firmankan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa janji ketaatan ini harus datang dari hati yang tulus. Ketulusan diuji dalam tindakan nyata. Seringkali, kita mungkin meminta petunjuk Tuhan, tetapi ketika jawaban-Nya tidak sesuai dengan keinginan kita, kita cenderung mengabaikannya atau mencari jalan lain. Ayat ini mengajarkan bahwa mendengarkan firman Tuhan bukan sekadar sebuah ritual, melainkan sebuah komitmen untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Ini membutuhkan keberanian untuk meninggalkan cara-cara lama yang mungkin telah membawa kita pada kehancuran, dan kepercayaan penuh pada panduan Ilahi yang seringkali melampaui pemahaman manusia.
Kisah para pemimpin Yehuda ini juga mengajarkan tentang peran hamba Tuhan sebagai perantara. Yeremia dipercaya untuk menyampaikan firman Tuhan kepada mereka. Dalam konteks modern, kita dapat melihat peran ini tercermin dalam kepemimpinan rohani yang membimbing umat Tuhan, serta dalam Firman Tuhan itu sendiri yang tersurat dalam Alkitab. Kita dipanggil untuk menggali kebenaran-Nya, merenungkannya, dan membiarkan Firman-Nya menuntun setiap langkah kita. Dengan memohon hikmat dari Tuhan, sebagaimana dilakukan oleh para pemimpin Yehuda, kita membuka diri pada berkat-berkat-Nya dan menemukan kedamaian sejati, bahkan di tengah badai kehidupan. Kehendak Tuhan selalu membawa keselamatan dan arah yang tepat bagi mereka yang bersedia mendengarkan dan taat.