Ayat Yeremia 43:6 merupakan bagian dari narasi yang menggambarkan akhir tragis bagi sisa-sisa bangsa Yehuda setelah jatuhnya Yerusalem ke tangan Babilonia. Peristiwa ini bukan hanya sekadar perpindahan geografis, tetapi juga mencerminkan kondisi spiritual dan ketidaktaatan yang mendalam.
Setelah kehancuran Yerusalem dan pembuangan sebagian besar penduduknya, sekelompok orang, termasuk para pemimpin dan keluarga mereka, memilih untuk melarikan diri ke Mesir. Keputusan ini didorong oleh rasa takut dan keinginan untuk mencari perlindungan, namun bertentangan dengan perintah ilahi yang disampaikan melalui nabi Yeremia. Nubuat Yeremia sebelumnya telah memperingatkan bangsa Yehuda untuk tetap tinggal di negeri mereka dan menerima hukuman Tuhan, karena dengan melarikan diri ke Mesir, mereka justru akan menemukan nasib yang lebih buruk.
Ayat ini mencatat secara spesifik siapa saja yang ikut dalam rombongan besar tersebut: "seluruh rakyat, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak, raja-raja dan para pemimpin, beserta semua orang yang disisihkan oleh Nebuzaradan, kepala pengawal." Penambahan nama raja Yoyakim bin Sidkia di akhir ayat menekankan betapa beratnya kenyataan yang dihadapi oleh sisa-sisa bangsawan dan keluarga kerajaan. Mereka, yang seharusnya menjadi penuntun dan pelindung, kini terpaksa meninggalkan tanah air mereka, membawa serta seluruh tanggung jawab dan beban masa lalu.
Pelarian ke Mesir adalah tindakan yang didasarkan pada kearifan manusia semata, bukan pada iman dan ketaatan kepada Tuhan. Bangsa Yehuda, meskipun telah menyaksikan berbagai tanda dan peringatan dari Tuhan, tetap memilih jalan yang menurut mereka lebih aman. Namun, Alkitab mencatat bahwa tindakan ini justru membawa mereka pada perbudakan yang lebih parah dan penyembahan berhala yang lebih dalam di negeri asing. Yeremia sendiri diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi bersama mereka, melanjutkan nubuatnya yang menentang pilihan mereka, yang pada akhirnya terbukti benar.
Kisah ini menjadi pengingat yang kuat tentang konsekuensi dari ketidakpercayaan dan ketidaktaatan. Pilihan untuk mengabaikan firman Tuhan demi kenyamanan atau keamanan duniawi seringkali berujung pada kesesatan dan kehancuran yang lebih besar. Yeremia 43:6 bukan hanya sebuah catatan sejarah, tetapi juga sebuah pelajaran abadi tentang pentingnya mendengarkan suara Tuhan, bahkan ketika jalan yang ditunjukkan terasa sulit dan tidak populer.