Simbol Firman Tuhan

Yeremia 44:24 - Janji dan Peringatan Allah

"Juga semua perempuan itu berkata kepada semua laki-laki: 'Sambil membakar persembahan ukupan kepada ratu langit dan sambil mempersembahkan korban-korban cair kepadanya, dengan apakah kami mempersembahkan korban-korban itu, kami akan terus melakukan itu, seperti yang kami lakukan, kami dan nenek moyang kami, raja-raja kami dan pemimpin-pemimpin kami, di kota-kota Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem. Sebab pada waktu itulah kami mendapat cukup makanan, dan kami makmur, dan tidak mengalami malapetaka apa pun."

Ayat Yeremia 44:24 menyajikan sebuah dialog yang sangat memilukan antara para perempuan dan laki-laki di Yehuda, tak lama setelah pembuangan ke Babel. Kata-kata ini bukan hanya sekadar rekam jejak sejarah, tetapi juga sebuah cerminan mendalam tentang keengganan manusia untuk belajar dari kesalahan dan keteguhan hati untuk kembali ke jalan yang salah, bahkan ketika berhadapan dengan konsekuensi yang mengerikan. Dalam ayat ini, kita melihat sebuah komunitas yang begitu terpaku pada praktik ibadah pagan mereka, khususnya kepada "ratu langit," sehingga mereka berani menentang bahkan peringatan terakhir dari nabi Yeremia.

Para perempuan, yang tampaknya memegang peranan penting dalam praktik keagamaan rumah tangga dan komunitas ini, menyatakan dengan tegas niat mereka untuk terus mempersembahkan korban ukupan dan korban cair kepada "ratu langit." Mereka menghubungkan kemakmuran dan keamanan yang pernah mereka rasakan di masa lalu dengan praktik ibadah ini. Bagi mereka, kelimpahan makanan dan ketiadaan malapetaka adalah bukti bahwa "ratu langit" adalah dewi yang berkuasa dan memberikan berkat. Pandangan ini sungguh ironis, mengingat Yehuda baru saja mengalami malapetaka terburuk: kehancuran Yerusalem dan pengasingan. Namun, mereka memilih untuk menyalahkan ketaatan mereka yang kurang atau ketidakpuasan dewi mereka, bukan kesalahan fundamental dalam ketaatan mereka kepada Allah yang sejati.

Pernyataan ini menyoroti sebuah fenomena spiritual yang umum terjadi: godaan untuk mencari kenyamanan dan kepastian dalam cara-cara yang mudah dan familiar, meskipun itu bertentangan dengan kehendak Allah. "Ratu langit" mungkin menawarkan janji-janji kemakmuran yang instan dan rasa aman yang bersifat lahiriah, sesuatu yang lebih mudah dipahami dan dijalankan daripada iman yang membutuhkan ketaatan, pengorbanan, dan kepercayaan total kepada Allah yang tak terlihat. Mereka telah melupakan atau mengabaikan ajaran-ajaran para nabi sebelumnya yang berulang kali mengingatkan mereka akan bahaya penyembahan berhala.

Ayat ini berfungsi sebagai sebuah peringatan keras bagi kita hari ini. Seberapa sering kita, tanpa sadar, menggantikan Allah dengan "ratu langit" kita sendiri? Mungkin itu adalah kekayaan materi, kesuksesan karier, popularitas sosial, atau bahkan kenyamanan pribadi yang kita anggap sebagai sumber kebahagiaan dan keamanan utama. Ketika kita mengutamakan hal-hal ini di atas hubungan kita dengan Allah, kita sedang menyembah berhala. Allah adalah Allah yang cemburu, dan Dia tidak akan berbagi kemuliaan-Nya dengan yang lain. Yeremia 44:24 mengingatkan kita bahwa iman yang sejati tidak hanya tentang ritual, tetapi tentang ketaatan hati yang total kepada Allah, bahkan ketika jalan itu sulit dan tidak memberikan jaminan kenyamanan lahiriah yang instan. Ketaatan kepada Allah adalah pondasi sejati dari kemakmuran rohani, yang pada akhirnya akan membawa kedamaian yang sesungguhnya.

Menghadapi kenyataan pahit dari pembuangan, umat Allah seharusnya merenungkan kesalahan mereka dan kembali kepada Allah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka justru semakin memperkuat keyakinan mereka pada praktik yang telah membawa mereka kepada kehancuran. Ini adalah gambaran tragis dari hati manusia yang keras kepala dan mudah tertipu oleh ilusi. Niat mereka untuk terus melakukan apa yang telah mereka lakukan, "seperti yang kami lakukan, kami dan nenek moyang kami, raja-raja kami dan pemimpin-pemimpin kami," menunjukkan siklus kegagalan yang terus berulang. Pesan Yeremia 44:24 tetap relevan, mengundang kita untuk memeriksa hati kita: Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi dan menaati Allah, atau adakah "ratu langit" lain yang tanpa sadar kita sembah?