Ayat dari Kitab Yeremia pasal 5, ayat 30, menyajikan gambaran yang sangat suram mengenai kondisi spiritual dan moral umat Israel pada masanya. Kata-kata yang digunakan, seperti "mengerikan" dan "menjijikkan," secara gamblang menggambarkan betapa parahnya penyimpangan yang terjadi. Situasi ini bukan hanya sekadar ketidaksempurnaan biasa, melainkan sebuah dekadensi yang mendalam, merusak tatanan masyarakat dan hubungan mereka dengan Tuhan.
Fokus utama ayat ini adalah pada dua kelompok yang seharusnya menjadi pilar moral dan spiritual: para nabi dan para imam. Alih-alih membimbing umat ke jalan kebenaran, mereka justru menjadi sumber kesesatan. Para nabi yang seharusnya menyampaikan firman Tuhan secara setia, malah "bernubuat palsu." Ini berarti mereka menyebarkan pesan-pesan yang menyesatkan, mungkin demi keuntungan pribadi, popularitas, atau karena ketakutan. Nubuat palsu ini dapat berupa janji-janji kosong, penolakan terhadap teguran ilahi, atau pengabaian terhadap keseriusan dosa.
Lebih lanjut, para imam, yang bertugas memimpin ibadah dan mengajarkan hukum Taurat, digambarkan "berkuasa dengan kekerasan." Ini menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang, penindasan, dan mungkin korupsi dalam lingkungan keagamaan. Mereka tidak lagi melayani Tuhan dan umat-Nya dengan kerendahan hati dan integritas, melainkan menggunakan kedudukan mereka untuk memuaskan diri sendiri atau menindas orang lain. Keadaan ini menciptakan lingkungan yang tidak hanya tidak kondusif untuk pertumbuhan rohani, tetapi juga aktif merusak.
Yang paling mencengangkan adalah pengakuan selanjutnya: "bahkan umat-Ku sendiri suka demikian!" Ini menandakan bahwa kerusakan moral dan spiritual telah merasuki seluruh lapisan masyarakat. Umat Allah tidak hanya pasif menerima kebobrokan ini, tetapi justru "suka" atau menikmati keadaan tersebut. Mereka telah menjadi terbiasa dengan kepalsuan dan kekerasan, bahkan mungkin menjadikannya sebagai norma. Ketidakpedulian terhadap kebenaran dan keadilan telah merajalela, mengikis fondasi iman dan moral.
Yeremia, sebagai nabi yang setia, menyaksikan kehancuran ini dengan hati yang pedih. Ia mengajukan pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran: "Tetapi apakah yang akan kamu perbuat pada akhirnya?" Pertanyaan ini bukan hanya untuk umat pada zamannya, tetapi juga menjadi sebuah peringatan abadi bagi setiap generasi. Ketika kepalsuan dan kekerasan merajalela, dan ketika hati manusia tidak lagi peka terhadap panggilan Tuhan, konsekuensi yang mengerikan pasti akan datang. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan kondisi spiritual kita sendiri, komunitas kita, dan bangsa kita. Apakah kita masih mencintai kebenaran dan keadilan? Ataukah kita telah terbuai oleh kemudahan dan kepalsuan yang pada akhirnya akan membawa kehancuran?
Penting bagi kita untuk mengenali tanda-tanda peringatan yang disampaikan dalam Yeremia 5:30. Ketika para pemimpin agama dan spiritual tidak lagi setia pada kebenaran, ketika kekerasan dan penindasan diterima sebagai hal yang lumrah, dan ketika umat secara umum tidak lagi peduli pada kebenaran, maka itu adalah sinyal bahaya. Kita dipanggil untuk tidak hanya mengamati, tetapi juga untuk bertindak. Mengembalikan kejujuran dalam perkataan, menegakkan keadilan dalam tindakan, dan senantiasa merindukan kebenaran Ilahi adalah langkah-langkah awal untuk menghindari "hal yang mengerikan dan menjijikkan" yang diperingatkan oleh Nabi Yeremia.