"Ia berbuat apa yang jahat di mata TUHAN, tepat seperti yang telah dilakukan Yoyakim."
Ayat Yeremia 52:2 memberikan gambaran yang suram tentang karakter Raja Zedekia, penguasa terakhir Yehuda sebelum keruntuhan Yerusalem. Frasa "Ia berbuat apa yang jahat di mata TUHAN, tepat seperti yang telah dilakukan Yoyakim" secara gamblang menghubungkan tindakannya dengan kebejatan moral pendahulunya. Hal ini bukan sekadar pernyataan sejarah, melainkan sebuah peringatan keras tentang siklus kegagalan dan pengabaian terhadap kehendak ilahi yang terus berulang di tengah umat Israel. Yoyakim sendiri dikenal karena kekejamannya, kesombongannya, dan penolakannya terhadap pesan kenabian yang disampaikan oleh Yeremia. Dengan menyamakan Zedekia dengan Yoyakim, sang nabi Yeremia menegaskan bahwa penguasa baru ini tidak belajar dari kesalahan masa lalu, bahkan cenderung mengulangi kesalahan yang sama, membawa Yehuda semakin dekat ke jurang kehancuran.
Perbuatan jahat yang dimaksud di sini mencakup berbagai aspek, mulai dari ketidakadilan sosial, penindasan terhadap kaum lemah, penolakan terhadap otoritas Tuhan, hingga mungkin juga keterlibatan dalam penyembahan berhala atau praktik-praktik yang dilarang oleh hukum Taurat. Intinya adalah Zedekia gagal memenuhi tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang seharusnya menegakkan kebenaran dan keadilan di mata Tuhan. Pemberontakan terhadap Tuhan bukan hanya sekadar masalah teologis, tetapi juga memiliki konsekuensi sosial dan politik yang mendalam. Ketika seorang pemimpin tidak takut akan Tuhan, maka keadilan akan sirna, dan rakyat akan menderita.
Konteks sejarah Yeremia 52:2 sangat penting. Bangsa Yehuda saat itu berada di bawah tekanan imperium Babel yang kuat. Nubuat-nubuat Yeremia berulang kali memperingatkan bahwa ketidaktaatan kepada Tuhan akan berujung pada pembuangan dan kehancuran kota Yerusalem. Namun, alih-alih bertobat dan berbalik kepada Tuhan, para pemimpin dan sebagian besar rakyat terus melanjutkan pola hidup yang tidak berkenan di hadapan-Nya. Zedekia, meskipun mungkin memiliki niat baik di awal pemerintahannya, akhirnya tunduk pada tekanan dan kebijakannya sendiri yang mengarah pada malapetaka. Kesamaan tindakannya dengan Yoyakim menunjukkan betapa rapuhnya integritas moral para pemimpin Yehuda di masa-masa kritis tersebut.
Pemberontakan yang dijelaskan dalam ayat ini adalah pemberontakan terhadap mandat ilahi. Tuhan telah memilih Israel untuk menjadi umat-Nya, umat yang seharusnya mencerminkan karakter-Nya di dunia. Namun, ketika para pemimpin mereka, seperti Zedekia, memilih untuk berbuat "jahat di mata TUHAN," mereka tidak hanya menghancurkan diri sendiri tetapi juga mempermalukan nama Tuhan di hadapan bangsa-bangsa lain. Akibatnya, bangsa Israel harus menanggung konsekuensi berat berupa kehancuran Bait Suci, hilangnya kemerdekaan, dan pembuangan ke tanah asing. Yeremia 52:2 menjadi pengingat abadi bahwa ketaatan kepada Tuhan adalah fondasi penting bagi kesejahteraan suatu bangsa, sedangkan ketidaktaatan akan selalu mendatangkan murka dan hukuman.