"Mereka disebut orang-orang yang menolak, perak yang dibuang, sebab TUHAN telah membuang mereka."
Kitab Yeremia adalah sebuah narasi kenabian yang mendalam, penuh dengan peringatan, kesedihan, dan harapan. Salah satu ayat yang cukup kuat dan menggugah refleksi adalah Yeremia 6:30. Ayat ini secara ringkas menggambarkan kondisi spiritual bangsa Israel pada masa itu, sebuah umat yang dipilih Tuhan namun menunjukkan sikap menolak dan keras kepala terhadap firman-Nya. Perkataan nabi Yeremia ini bukan sekadar kritik, melainkan sebuah diagnosis ilahi atas apa yang telah terjadi pada hubungan antara Tuhan dan umat-Nya.
Ketika Tuhan melalui nabi-Nya menyebut mereka "orang-orang yang menolak" (atau dalam beberapa terjemahan "bangsa yang menjijikkan"), ini menunjukkan penolakan fundamental terhadap otoritas dan kehendak ilahi. Penolakan ini bukan hanya sebatas ketidaksetujuan pasif, melainkan sebuah penolakan aktif terhadap kebenaran, keadilan, dan kasih Tuhan. Akibat dari penolakan ini digambarkan dengan analogi yang sangat pedih: "perak yang dibuang". Perak, dalam konteks kuno, adalah logam mulia yang berharga, sering kali dimurnikan untuk mendapatkan nilai terbaiknya. Namun, perak yang "dibuang" berarti perak tersebut telah terkontaminasi, tidak lagi murni, dan oleh karena itu tidak dapat digunakan atau dihargai. Ia menjadi sesuatu yang tidak berguna, dibuang begitu saja.
Pesan ini sangat relevan bagi kita di zaman modern. Seberapa sering kita, secara individu maupun kolektif, menunjukkan sikap "menolak" terhadap tuntunan rohani atau prinsip-prinsip kebenaran yang telah dinyatakan? Kita mungkin tidak secara eksplisit menolak Tuhan, namun tindakan dan sikap kita bisa jadi menunjukkan bahwa kita lebih memilih jalan kita sendiri, mengikuti keinginan duniawi, atau mengabaikan suara hati nurani yang dibimbing Roh Kudus. Ketika kita terus-menerus mengabaikan panggilan untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan, kita berisiko menjadi seperti perak yang dibuang—berpotensi berharga, namun karena pilihan kita sendiri, menjadi tidak berguna di mata-Nya.
Ayat ini juga menegaskan kedaulatan Tuhan. Kalimat terakhir, "sebab TUHAN telah membuang mereka," bukanlah pernyataan tanpa sebab. Pembuangan ini adalah konsekuensi logis dari penolakan mereka yang berkelanjutan. Tuhan, dalam kesabaran-Nya, telah memberikan banyak kesempatan untuk pertobatan, tetapi ketika kesempatan itu terus-menerus ditolak, Ia harus mengambil tindakan tegas. Pembuangan ini bisa diinterpretasikan dalam berbagai tingkatan, mulai dari kehilangan berkat, terpisahnya hubungan spiritual, hingga kehancuran fisik dan pembuangan ke negeri asing. Intinya, pilihan untuk tidak mengasihi dan menaati Tuhan pada akhirnya akan membawa pada konsekuensi yang menyakitkan.
Merangkul firman Tuhan dalam Yeremia 6:30 mengajak kita untuk introspeksi. Apakah kita sedang menuju jalan penolakan, meskipun secara tidak sadar? Apakah kita telah mengizinkan "kontaminasi" duniawi merusak kemurnian hati kita? Penting untuk diingat bahwa Tuhan tidak pernah ingin membuang ciptaan-Nya. Niat-Nya selalu untuk memulihkan dan menyelamatkan. Namun, pemulihan ini memerlukan respons dari pihak kita: kerendahan hati untuk mengakui kesalahan, keberanian untuk bertobat, dan kesediaan untuk kembali pada jalan-Nya. Hanya dengan demikian kita dapat menghindari nasib sebagai perak yang dibuang dan kembali menjadi umat yang berharga di hadapan Tuhan.