"Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: Tambahkanlah korban bakaranmu kepada korban sembelihanmu dan makanlah dagingnya."
Ayat Yeremia 7:21 seringkali disalahpahami jika dilihat secara terpisah dari konteksnya. Tuhan dalam perkataan-Nya kepada Yeremia, tidaklah memerintahkan umat-Nya untuk menambah jumlah persembahan fisik semata. Sebaliknya, firman ini merupakan respons terhadap praktik ibadah yang telah menjadi kosong dan munafik di Bait Suci. Bangsa Israel, meskipun melakukan ritual persembahan yang berlimpah, hati mereka jauh dari Tuhan. Mereka tetap melakukan kejahatan, penindasan, dan ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari.
Simbol hati yang dikelilingi oleh "persembahan" yang tidak tulus.
Tuhan menyoroti kesia-siaan dari persembahan semacam itu. Seolah-olah Tuhan berkata, "Kamu mempersembahkan daging dan darah, namun hati kalian tidak dipersembahkan kepada-Ku. Ketaatan kalian hanya sebatas kulit luar, tanpa substansi kerohanian yang sejati." Tuhan lebih menginginkan ketaatan hati, penyesalan yang tulus, dan perubahan hidup daripada sekadar ritual yang dilakukan karena kebiasaan atau kewajiban semata. Persembahan yang seharusnya dipersembahkan kepada Tuhan bukanlah semata-mata hewan korban, melainkan diri kita sendiri—pikiran, perkataan, dan perbuatan yang mencerminkan kasih dan ketaatan kepada-Nya.
Dalam konteks Perjanjian Baru, Yesus Kristus mengajarkan prinsip yang serupa. Ia menekankan bahwa yang keluar dari hati itulah yang menajiskan seseorang. Persembahan yang paling berkenan kepada Tuhan adalah hidup yang kudus, penuh kasih, dan taat pada kehendak-Nya. Ketika Yeremia 7:21 diinterpretasikan dengan benar, ia menjadi pengingat kuat bagi kita untuk tidak hanya terfokus pada bentuk-bentuk luar ibadah, tetapi untuk senantiasa memeriksa hati kita. Apakah persembahan kita—baik itu waktu, talenta, harta benda, atau pelayanan—didasari oleh kasih yang tulus kepada Tuhan dan sesama?
Tuhan tidak pernah menolak persembahan dari hati yang tulus. Sebaliknya, Ia merindukan umat-Nya untuk mempersembahkan diri mereka seutuhnya kepada-Nya. Ini berarti hidup yang mencerminkan nilai-nilai Kerajaan Allah: keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Yeremia 7:21 mengajak kita untuk merefleksikan kualitas ibadah kita. Apakah ibadah kita hanyalah sebuah rutinitas yang kosong, ataukah ia merupakan ekspresi otentik dari hubungan yang mendalam dengan Sang Pencipta? Marilah kita mempersembahkan hidup kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan di hadapan Tuhan, bukan hanya di gereja, tetapi dalam setiap aspek kehidupan kita.