"Ambilkan kecapi, kelilingilah kota, hai perempuan pelacur yang sudah lama dilupakan; mainkan kecapi baik-baik, nyanyikan lagu-lagu lagi, supaya engkau diingat kembali."
Visualisasi Tirus, pusat perdagangan maritim.
Ayat Yesaya 23:16 membangkitkan gambaran sebuah kota yang pernah makmur, Tirus, yang kini terancam terlupakan. Nabi Yesaya menggunakan metafora yang kuat: sebuah kota yang dulunya "dilupakan" kini diinstruksikan untuk mengambil kecapi, mengelilingi Tirus, dan memainkan lagu-lagu agar diingat kembali. Ini bukan sekadar tentang keindahan musik, melainkan sebuah gambaran kiasan tentang masa lalu Tirus yang gemilang.
Tirus, sebuah kota pelabuhan Fenisia yang legendaris, dikenal sepanjang abad sebagai pusat perdagangan dan kekayaan yang luar biasa. Keberadaannya yang strategis di tepi Laut Mediterania menjadikannya pelabuhan utama untuk pertukaran barang dari berbagai penjuru dunia. Emas, perak, rempah-rempah, kain ungu yang terkenal (diproduksi dari siput laut), dan berbagai komoditas mewah lainnya mengalir melalui pelabuhan Tirus, membawa kemakmuran yang tak tertandingi bagi penduduknya. Para pelaut dan pedagang Tirus dikenal akan keahlian mereka dalam navigasi dan jaringan perdagangan yang luas, membangun reputasi Tirus sebagai "ratu lautan".
Namun, ayat ini datang sebagai peringatan. Di balik kemegahan dan kekayaan yang melimpah, ada ancaman kehancuran. Kehidupan yang berpusat pada perdagangan dan keuntungan duniawi membuat Tirus rentan terhadap hukuman ilahi. Ketika nabi Yesaya berbicara tentang Tirus, ia sering kali mengaitkannya dengan kesombongan, ketidakadilan, dan ketergantungan pada kekuatan manusia daripada pada Tuhan. Kehidupan yang mewah sering kali menutupi kebusukan moral dan spiritual, menciptakan sebuah fasad yang rapuh.
Instruksi untuk "memainkan kecapi" dan "menyanyikan lagu-lagu lagi" bisa diartikan sebagai upaya putus asa Tirus untuk membangkitkan kembali kejayaannya yang memudar, atau bahkan sebagai upaya mereka untuk memikat kembali para pedagang dan pelanggan melalui daya tarik budaya dan hiburan. Namun, ini adalah gambaran yang tragis dari sebuah kota yang kehilangan fondasi spiritualnya. Kekayaannya yang begitu dibanggakan tidak dapat menyelamatkannya dari konsekuensi dosa dan penyembahan berhala.
Pesan Yesaya 23:16 lebih dari sekadar nubuat tentang kehancuran Tirus. Ayat ini juga mengajarkan kita tentang bahaya ketergantungan berlebihan pada kekayaan duniawi dan upaya untuk mencari pengakuan atau penebusan melalui sarana duniawi semata. Kemakmuran Tirus memang luar biasa, tetapi kekayaan tanpa dasar spiritual yang kuat cenderung menghasilkan kesombongan dan akhirnya menuju kehancuran. Keindahan musik dan seni, meskipun berharga, tidak dapat menggantikan hubungan yang benar dengan Tuhan atau memulihkan keutuhan moral sebuah masyarakat. Kota ini, pada akhirnya, akan mengalami nasib yang digambarkan oleh nabi, menyoroti bahwa kekayaan yang sejati dan kekal tidak dapat ditemukan dalam barang dagangan atau pujian manusia.
Kisah Tirus mengingatkan kita bahwa kesuksesan dan kemakmuran yang hanya berlandaskan materi adalah sesuatu yang rapuh. Kehidupan yang seimbang, yang menghargai nilai-nilai spiritual dan keadilan, adalah fondasi yang lebih kokoh. Perintah untuk "diingat kembali" bisa menjadi cerminan dari kerinduan Tirus akan masa lalu yang jaya, sebuah masa ketika mereka mungkin masih memiliki hubungan yang lebih baik dengan Yang Maha Kuasa, sebelum mereka sepenuhnya tenggelam dalam arus keserakahan dan kesombongan perdagangan.