Ayat ini dari Kitab Yesaya, pasal 3, ayat 21, seringkali terdengar membingungkan pada pembacaan pertama. Namun, di balik frasa yang berulang dan terdengar paradoks, tersembunyi sebuah pesan penting tentang nilai-nilai yang sebenarnya, dan bagaimana seringkali kita terlalu fokus pada penampilan luar yang sementara.
Memahami Pesan Inti
Dalam konteks yang lebih luas, Kitab Yesaya seringkali berisi peringatan terhadap dosa dan kesombongan bangsa Israel, serta seruan untuk kembali kepada Tuhan. Ayat 3:21 ini merupakan bagian dari gambaran yang lebih besar mengenai kehancuran dan kekacauan yang akan menimpa Yerusalem karena kesombongan dan ketidaktaatan umat-Nya. Para nabi seringkali menggunakan bahasa kiasan dan kontradiksi untuk menekankan poin mereka dengan kuat.
Kalimat "yaitu orang-orang yang berakal budi, tetapi tiada berbaju, yang berbaju, tetapi tiada berakal budi, yang berbaju, tetapi tiada berbaju" dapat diinterpretasikan dalam beberapa cara. Salah satu pandangan adalah bahwa ini menggambarkan kebingungan dan rusaknya tatanan sosial. Orang yang seharusnya memiliki kebijaksanaan (berakal budi) justru tertindas atau tidak memiliki apa-apa (tiada berbaju), sementara orang yang memiliki penampilan luar yang baik atau status sosial yang tinggi (berbaju) justru tidak memiliki kebijaksanaan atau moralitas yang mendasarinya.
Kontras Antara Luar dan Dalam
Frasa "berbaju, tetapi tiada berbaju" bisa juga merujuk pada kemunafikan. Seseorang mungkin mengenakan pakaian yang indah, simbol status, atau menampilkan citra diri yang menarik di mata publik, namun pada hakikatnya kosong dari nilai-nilai spiritual, moral, atau kebijaksanaan sejati. Mereka memiliki "kemasan" yang baik, tetapi isinya tidak ada. Ini adalah cerminan dari masyarakat yang lebih menghargai penampilan, kekayaan, dan status daripada kebajikan, hikmat, dan kesalehan.
Di sisi lain, "berakal budi, tetapi tiada berbaju" bisa melambangkan orang yang memiliki hikmat ilahi atau pemahaman yang benar, namun mereka tidak memiliki kedudukan, kekayaan, atau perlindungan duniawi. Mereka mungkin dianggap remeh atau tidak terlihat dalam hirarki sosial yang mengutamakan penampilan luar.
Relevansi Hari Ini
Pesan dalam Yesaya 3:21 tetap relevan hingga saat ini. Dalam era media sosial dan budaya konsumerisme, kita seringkali tergoda untuk terlalu fokus pada apa yang terlihat. Keindahan fisik, harta benda, dan citra diri yang sempurna seringkali dipromosikan sebagai tolok ukur kesuksesan dan kebahagiaan. Namun, ayat ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang bersifat lahiriah itu fana.
Nilai sejati seseorang tidak terletak pada apa yang dikenakannya, atau seberapa kaya ia terlihat, melainkan pada karakter batinnya, kebijaksanaan yang dimilikinya, dan hubungannya dengan Tuhan. Firman Tuhan mengajarkan kita untuk mencari harta yang tidak dapat rusak oleh ngengat dan karat, yaitu kebaikan hati, kasih, kesabaran, dan hikmat ilahi.
Oleh karena itu, marilah kita merenungkan pesan ini. Sudahkah kita memprioritaskan hal yang benar? Apakah kita mengukur diri sendiri dan orang lain berdasarkan penampilan luar, ataukah kita melihat hati dan jiwa? Yesaya 3:21 adalah pengingat yang kuat bahwa keindahan yang abadi adalah keindahan yang berasal dari dalam, yang dibentuk oleh prinsip-prinsip ilahi, dan yang akan bertahan melampaui segala kesenangan duniawi yang sementara.