Ayat dari Kitab Yesaya pasal 36, ayat 10, membawa kita pada momen krusial dalam sejarah bangsa Israel. Dalam konteks ini, kita diperkenalkan pada perkataan Sanherib, raja Asyur, yang sedang menghadapi Hizkia, raja Yehuda. Sanherib, melalui utusannya, mencoba menggoyahkan iman dan keberanian Hizkia dengan mengintimidasi dan meremehkan kekuasaan Tuhan yang dipercayai oleh umat-Nya. Ucapan ini bukanlah sekadar ancaman kosong, melainkan klaim ilahi yang disalahgunakan untuk membenarkan kekejaman dan ambisi politik.
Pesan Sanherib terdengar kuat dan mengintimidasi: bahwa kedatangannya dan niatnya untuk memusnahkan Yehuda bukanlah kehendak pribadinya semata, melainkan diperintahkan langsung oleh Tuhan. Ia ingin meyakinkan Hizkia dan rakyat Yerusalem bahwa perlawanan adalah sia-sia karena musuh mereka bertindak atas mandat ilahi. Ini adalah taktik perang psikologis yang sangat umum, yaitu menggunakan agama atau kepercayaan lawan untuk meruntuhkan semangat mereka. Sanherib berusaha membuat rakyat Yehuda merasa bahwa bahkan Tuhan mereka pun tidak dapat menolong mereka, atau lebih buruk lagi, Tuhan telah berbalik melawan mereka.
Namun, di balik klaim besar Sanherib, terdapat inti kebenaran yang sering kali terabaikan oleh mereka yang menggunakannya untuk tujuan yang salah. Kitab-kitab nabi, termasuk Yesaya, sering kali berbicara tentang bagaimana bangsa-bangsa lain, bahkan tanpa menyadarinya, dapat menjadi alat di tangan Tuhan untuk menghukum umat-Nya yang berbuat dosa. Tuhan dapat menggunakan kekuatan duniawi untuk mendatangkan keadilan atau pembelajaran. Namun, penting untuk dicatat perbedaan fundamental: Tuhan bertindak sesuai dengan kehendak-Nya yang adil dan kudus, sedangkan Sanherib bertindak berdasarkan kesombongan, keserakahan, dan kekejaman.
Simbol perdamaian dan harapan.
Dalam situasi yang penuh ketegangan dan ketakutan ini, ayat ini berfungsi sebagai pengingat akan kedaulatan Tuhan yang sesungguhnya. Meskipun Sanherib mengklaim mendapat perintah ilahi, Firman Tuhan dalam kitab suci menunjukkan bahwa Sanherib pada akhirnya gagal dalam tujuannya untuk merebut Yerusalem. Tuhan berintervensi secara ajaib untuk menyelamatkan umat-Nya. Peristiwa ini menegaskan bahwa tidak ada kekuatan manusia, sehebat apapun, yang dapat mengalahkan rencana ilahi atau mengendalikan Tuhan untuk kepentingan diri sendiri.
Bagi kita di masa kini, Yesaya 36:10 mengajarkan pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi ancaman dan intimidasi. Seringkali, kita dihadapkan pada situasi yang membuat kita merasa kecil dan tidak berdaya, di mana suara-suara keraguan dan ketakutan mencoba meruntuhkan iman kita. Penting untuk membedakan antara ancaman yang datang dari kesombongan manusia dan kehendak Tuhan yang sejati. Sebagaimana Hizkia akhirnya bersandar pada Tuhan dan bukan pada klaim sombong Sanherib, demikian pula kita dipanggil untuk menguatkan iman kita. Kepercayaan pada Tuhan, bukan pada kekuatan duniawi atau perkataan yang menyesatkan, adalah sumber ketenangan dan kekuatan sejati. Kita diingatkan bahwa Tuhan memiliki kendali penuh atas segala sesuatu, dan rencana-Nya akan tetap teguh, bahkan ketika dihadapkan pada kekuatan yang paling menakutkan.