Ayat dari Kitab Yesaya ini, khususnya pasal 36 ayat 22, membuka jendela menuju sebuah momen krusial dalam sejarah Israel. Konteksnya adalah ketika Kerajaan Asyur, di bawah kepemimpinan raja Sanherib, telah menginvasi Yehuda dan mengepung Yerusalem. Panglima perang Sanherib, Rabsyake, telah datang dengan sombongnya untuk menyampaikan ancaman dan ejekan kepada penduduk Yerusalem, menghina iman mereka kepada Tuhan, dan mendorong mereka untuk menyerah.
Kata-kata dalam Yesaya 36:22 diucapkan oleh para pejabat Yehuda yang menyampaikan pesan dari rakyat Yerusalem kepada Hizkia, raja mereka. Mereka mengungkapkan keputusasaan yang mendalam, sebuah perasaan "mati lemas" karena telah lama terpapar oleh provokasi dan ancaman tanpa henti dari Asyur. Mereka merasa telah mencapai titik di mana mereka tidak lagi memiliki kekuatan, baik fisik maupun mental, untuk melawan. Ancaman dari kekuatan militer Asyur yang tak tertandingi terasa begitu nyata dan mencekam.
Visualisasi harapan yang datang dari sumber Ilahi.
Namun, di tengah keputusasaan itu, muncul sebuah pengakuan yang mengharukan: "Ia datang menyelamatkan kami." Pernyataan ini, meskipun diucapkan dalam situasi genting dan mungkin dengan sedikit keraguan, menunjukkan adanya keyakinan yang tersisa akan intervensi Tuhan. Mereka menyadari bahwa kekuatan mereka sendiri tidak cukup, dan hanya Tuhan yang memiliki kuasa untuk membalikkan keadaan.
Dalam narasi Kitab Yesaya, Tuhan memang mengirimkan malaikat-Nya yang memusnahkan seratus delapan puluh lima ribu tentara Asyur dalam satu malam, membebaskan Yerusalem dari ancaman besar tersebut. Ayat ini menjadi saksi bisu akan kepercayaan, sekecil apapun, yang bisa memicu campur tangan ilahi. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa bahkan ketika kita merasa telah mencapai titik terendah, ketika segala upaya manusia tampak sia-sia, Tuhan tetap hadir dan mampu memberikan solusi yang tak terduga.
Pesan dari Yesaya 36:22 melampaui konteks sejarahnya. Bagi kita saat ini, ayat ini mengajarkan tentang pentingnya tetap berpegang pada iman, bahkan di tengah badai kehidupan. Ketika kita menghadapi kesulitan yang terasa berat, ketika keputusasaan mulai merayap, kita diingatkan untuk tidak menyerah pada keputusasaan, melainkan mencari kekuatan dalam sumber yang lebih besar dari diri kita sendiri. Pengakuan "Ia datang menyelamatkan kami" adalah ekspresi dari iman yang berani menanti, mempercayai bahwa di setiap kesulitan, ada potensi penyelamatan ilahi yang selalu siap menolong.
Kisah ini menekankan bahwa dalam kehampaan dan ketidakberdayaan manusia, ada celah bagi campur tangan Tuhan. "Mati lemas" secara metaforis dapat diartikan sebagai kondisi kelelahan jiwa dan semangat akibat perjuangan yang tiada akhir. Namun, di akhir kalimat, ada kalimat penyelamat yang menunjukkan bahwa bahkan dalam keadaan terlemah pun, harapan akan penyelamatan tetap ada, datang dari sumber yang kudus. Ini adalah janji penghiburan yang tak ternilai harganya dari Sang Pencipta.