"TUHAN telah menyelamatkan aku; maka lagu pujian kami, di rumah TUHAN, akan kami nyanyikan seumur hidup kami."
Simbol syukur dan penyembuhan ilahi.
Ayat Yesaya 38:20 merupakan inti dari sebuah kesaksian yang mendalam tentang kebaikan dan pemeliharaan Tuhan. Ayat ini muncul dalam konteks kisah Raja Hizkia yang sedang menghadapi ancaman kematian karena penyakit yang parah. Dalam momen keputusasaan itu, Hizkia berseru kepada Tuhan, memohon perpanjangan hidup. Doanya dijawab, dan Tuhan menambahkan lima belas tahun pada usianya, serta menyelamatkannya dari tangan raja Asyur.
Sebagai respons atas anugerah penyelamatan yang luar biasa ini, Hizkia tidak hanya merasakan lega, tetapi juga dorongan untuk menyatakan syukurnya secara publik dan abadi. Ayat 20 ini adalah pernyataan eksplisit tentang bagaimana kelepasan dari penderitaan dan ancaman kematian mengubah perspektif hidupnya. Ia tidak ingin momen kelepasan ini berlalu begitu saja tanpa pengakuan. Sebaliknya, ia berniat untuk menyanyikan lagu pujian.
Kata "lagu pujian" di sini sangat penting. Ini bukan sekadar gumaman syukur pribadi, melainkan sebuah ungkapan kolektif yang akan dinyanyikan di "rumah TUHAN". Ini menunjukkan bahwa penyembuhan dan penyelamatan yang dialami Hizkia memiliki dampak yang lebih luas, menginspirasi ibadah dan ucapan syukur bagi seluruh umat. Bait Allah menjadi tempat di mana kelepasan ini diperingati dan dirayakan.
Frasa "seumur hidup kami" menekankan komitmen Hizkia untuk terus menerus bersyukur. Ini bukan pujian sesaat, melainkan sebuah dedikasi seumur hidup. Pengalaman mendekati maut dan kemudian diberikan kesempatan hidup kembali adalah pengalaman transformatif yang mengarah pada perubahan fundamental dalam prioritas dan ekspresi imannya. Hal ini mengajarkan kita bahwa ketika Tuhan memberikan anugerah, respons yang paling tepat adalah ucapan syukur yang tulus dan berkelanjutan.
Bagi kita hari ini, Yesaya 38:20 menjadi pengingat kuat tentang kuasa Tuhan untuk memulihkan dan menyelamatkan. Apapun bentuk "penyakit" atau "ancaman" yang sedang kita hadapi, baik fisik, emosional, maupun spiritual, kita dipanggil untuk berseru kepada Tuhan. Dan ketika Dia memberikan kelegaan dan pertolongan, respons kita seharusnya adalah lagu pujian yang tidak pernah berhenti. Pengalaman pribadi akan kebaikan Tuhan adalah kesaksian yang paling kuat, dan rumah Tuhan (baik secara harfiah maupun metaforis sebagai komunitas iman) adalah tempat yang tepat untuk membagikan sukacita penyelamatan itu. Marilah kita, seperti Hizkia, selalu mengingat kebaikan-Nya dan menyanyikan pujian syukur seumur hidup kita.