Kisah dalam Yesaya 39:4 membawa kita pada momen penting dalam sejarah Kerajaan Yehuda, ketika Raja Hizkia, setelah mengalami kesembuhan ajaib dari penyakit mematikan, membuat sebuah keputusan yang kelak akan menuai konsekuensi besar. Ayat ini merupakan bagian dari percakapan antara Nabi Yesaya dan Raja Hizkia, yang terjadi setelah Hizkia menerima kunjungan kehormatan dari utusan Raja Merodakh-Baladan dari Babel.
Utusan dari Babel ini datang membawa kabar baik dan hadiah. Ini bukan sekadar kunjungan diplomatik biasa; di balik keramahan tersebut tersimpan ambisi politik dan keingintahuan tentang kekuatan dan kekayaan Yehuda. Dalam konteks geopolitik saat itu, Babel mulai bangkit sebagai kekuatan dominan di Mesopotamia, dan mereka mengamati kerajaan-kerajaan di sekitarnya, termasuk Yehuda yang berada di bawah pengaruh Mesir.
Raja Hizkia, dalam kelemahannya pasca-sakit namun mungkin diliputi rasa bangga karena kesembuhannya yang luar biasa dan pengakuan dari negeri yang jauh, mengambil tindakan yang disesalkan oleh nabi Allah. Ia menunjukkan kepada para utusan Babel seluruh harta benda dan persenjataannya, bahkan seluruh kekayaannya. Ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip ketidakpercayaan kepada bangsa-bangsa lain dan terlalu mengandalkan kekuatan duniawi atau hubungan diplomatik semata, daripada kedaulatan Allah.
Nabi Yesaya, yang sebelumnya telah menyampaikan firman Tuhan kepada Hizkia, kembali datang untuk menanyakan apa yang telah terjadi. Pertanyaan Yesaya, "Apakah yang dikatakan orang-orang itu dan siapakah mereka yang datang kepadamu?" bukanlah karena ia tidak tahu, melainkan untuk menegaskan kembali ketidaksukaan Tuhan atas tindakan Hizkia dan untuk mendorong pengakuan dosa. Jawaban Hizkia, "Mereka datang kepadamu dari negeri yang jauh, dari Babel; mereka telah melihat segala sesuatu yang ada di istanamu," mengkonfirmasi kerentanan yang telah ia tunjukkan.
Konsekuensi dari Keangkuhan dan Kurangnya Hikmat
Firman Tuhan, yang disampaikan melalui Yesaya setelah percakapan ini, sangatlah tegas. Tuhan menyatakan bahwa semua yang ada di istana Hizkia, dan semua yang telah dikumpulkan oleh leluhurnya hingga hari itu, akan dibawa ke Babel. Bahkan keturunan Hizkia sendiri akan dibawa dan dijadikan pelayan di istana raja Babel. Ini adalah nubuat yang mengerikan, sebuah konsekuensi langsung dari tindakan Hizkia yang memamerkan kekayaannya kepada kekuatan asing.
Ayat Yesaya 39:4 mengingatkan kita bahwa bahkan orang yang saleh pun dapat membuat kesalahan yang fatal. Keangkuhan, kebanggaan akan pencapaian duniawi, dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari bangsa-bangsa lain bisa mengaburkan hikmat ilahi. Dalam menghadapi situasi seperti ini, seharusnya Raja Hizkia bersandar pada kekuatan dan perlindungan Tuhan semata, bukan pada pameran kekayaan atau kemampuannya.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga bagi kita hingga hari ini. Penting untuk selalu menguji motif di balik tindakan kita. Apakah kita mencari kemuliaan Tuhan atau kemuliaan diri sendiri? Apakah kita terlalu mengandalkan kekuatan duniawi dan hubungan internasional, atau kita sungguh-sungguh percaya pada pemeliharaan Tuhan? Memiliki hikmat dan kerendahan hati untuk tidak memamerkan apa yang Tuhan telah berikan kepada kita kepada mereka yang mungkin akan menggunakannya untuk tujuan yang tidak baik adalah sebuah kebijaksanaan yang sangat diperlukan.
Kisah ini mengajarkan kita untuk senantiasa hidup dalam ketaatan kepada Tuhan, mengakui Dia dalam segala jalan kita, dan tidak menempatkan kepercayaan kita pada kekuatan atau kekayaan duniawi. Kesembuhan dan berkat yang dianugerahkan Tuhan adalah untuk kemuliaan-Nya, bukan untuk dipamerkan kepada dunia yang dapat menjerumuskan kita ke dalam bahaya.